Toha mengikuti wanita tua itu tanpa banyak bertanya. Mengedar mata ke setiap bingkai foto yang bergantungan di dinding ruang tamu. Namun dari puluhan deretan foto itu, hanya ada satu foto sosok Barga di sana.Toha bisa langsung mengenali sosok bocah dekil berambut gimbal dan bergigi geripis dengan senyum lebar merekah di bibir, berdiri di barisan belakang. Hampir tenggelam ditelan dempetan kepala saling berebut ruang di barisan depan.
Andai saja Toha tidak cermat mengamati, dia pasti luput akan kehadiran sosok bocah itu di bingkai foto kusam itu. Yeah, tidak salah lagi. Bocah itu memang Barga.
"Maaf kalau rumah ini sedikit berantakan," celetuk wanita tua itu sambil memunguti mobil mainan yang berserakan di lantai ruang tamu. "Kau tahu sendiri, banyak anak kecil di sini."
Toha mengangguk sambil mengusap sudut mata yang agak sedikit basah. "Yeah, mereka mudah penasaran dengan segala hal dan pergi begitu saja ketika merasa bosan."
"Kalau aku tidak rajin mengawasi mereka, rumah ini sudah lama jadi kapal pecah!" keluh wanita tua itu sambil meraup potongan robot rakitan dari plastik yang berceceran di sofa.
"Pasti sulit mengasuh mereka. Apalagi harus mengurus segerombol bocah laki-laki hiperaktif. Jelas, aku lebih memilih angkat tangan daripada mati mengenaskan," sahut Toha mencoba berempati. Meski sudah berumur, wanita tua itu masih tampak bugar dan tangguh.
"Kau pasti beruntung bisa bebas bercinta tanpa takut akan mengandung dan melahirkan anak badung," balas wanita itu sambil memasukan mobil mainan dan robot rakitan itu ke kantong plastik. "Beda jauh dengan masa mudaku dulu yang harus sedia kondom setiap malam. Kau tahu, kalau diakumulasikan total kondom bekas pakai bercinta kami dalam sebulan bisa setara dengan harga satu dus kotak susu formula bayi."
"Oh, boros sekali," sahut Toha mulai risih dengan pilihan topik agak sensitif dalam obrolan mereka.
"Bagaimana denganmu? Sudah berapa kali?"
Toha mendongak kaget. "S-soal?"
"Jangan belagak bodoh, Manis," tukas wanita tua itu sambil meremas lembut lengan Toha. "Jadi, apa Barga bisa bikin kamu puas?"
Toha mendengus tak percaya sambil mengedar mata sekitar. Mencoba mencari peralihan. "Bisa aku minum? Tenggorokanku kering sekali."
Wanita tua itu mengulum senyum geli melihat gelagat salah tingkah Toha. "Tentu. Mau minum apa?"
"Teh hangat saja. M-maaf merepotkan."
"Jangan sungkan begitu. Anggap saja rumah sendiri."
"Terimakasih, Bi... "
"Lasmi. Panggil saja Bi Lasmi."
"Oh, yeah. Baiklah."
Bi Lasmi menepuk jidat saat hendak beranjak ke dapur. "Oh, hampir saja lupa. Mari silakan duduk, kau pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh untuk datang kemari."
Toha segera duduk begitu Bi Lasmi menghilang di balik gorden lorong penghubung dapur dengan ruang tamu tanpa dilengkapi daun pintu.
Menghela napas panjang dan kembali mengamati perabotan minimalis serta deretan bingkai foto keluarga yang lebih banyak memakan ruang di dinding daripada pajangan lukisan maupun piagam penghargaan.
Lantas mengunci mata pada dua bocah yang sedang sibuk menggambar sambil tiduran di depan pintu sebuah kamar di ruang tengah yang bersambung dengan ruang tamu tanpa gantungan gorden pintu. Ada beberapa batang pensil berwarna bergelindingan di sekitar mereka.
Kening mengerut saat melihat satu dari mereka membisikkan sesuatu ke telinga yang lain sambil sesekali melirik ke arah Toha, lalu menunjuk ke pintu kamar di belakang mereka.
"Edi, Dion! Kemasi buku gambar serta pensil warna kalian dan lekas ke dapur!" panggil Bi Lasmi dari arah dapur. "Nenek butuh bantuan kalian."
Mereka menurut meski dengan tampang cemberut. Bergegas ke dapur setelah merapikan peralatan gambar mereka.
"Kita kehabisan stok gula lagi?"
Sayup Toha mendengar suara mungil berucap. Entah suara Dion atau Edi.
"Shtt ... pelanin suaramu. Nggak enak kalau kedengaran calon bibi iparmu," bisik Bi Lasmi sambil mengambil uang pecahan sepuluh ribu dari rak lemari dapur tempat menyimpan toples aneka bumbu masak.
Dari jendela ruang tamu, Toha melihat kedua bocah itu melintasi pekarangan samping rumah menuju warung di seberang jalan.
Setelah yakin situasi aman, Toha segera berjalan pelan ke arah pintu yang kedua bocah itu tunjuk tadi. Dengan jantung berdebar dan keringat dingin membasahi tapak tangan kala mengenggam kenop pintu kamar misterius itu.
Benarkah tidak apa masuk tanpa izin?
Jantung Toha semakin menggemuruh begitu sadar pintu itu tidak terkunci. Menarik napas dalam bersiap diri menerima kejutan apa pun sebelum menapak kaki ke kamar berselimut kabut misteri itu.[]