Suasana berubah mencekam begitu Barga memasuki ruang guru dengan semerbak aura membunuh yang menebar ke setiap sudut ruangan seperti gas beracun mematikan."Perasaan saya saja atau memang suhu ruangan ini menurun drastis?" bisik Bu Esti sambil mengusap tengkuk dan memekik pelan saat melirik sekilas ke meja Barga. "Dia ... menatap kemari, Toha."
"Abaikan saja," sahut Toha sambil memutar bola mata dan melenguh napas bosan. "Aku bisa melapor ke polisi kalau dia berani mencelakai kita."
Toha kesulitan menghindari Barga, apalagi bila berada dalam satu ruangan. Peluangnya sangat minim, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Lebih dari sekali Toha sempat berpikir untuk mengajukan surat pengunduran diri. Namun urung setiap mengingat usia yang sudah mulai memasuki masa pensiun.
Selain akan sulit bersaing dengan guru lain yang lebih muda dan berpenampilan menarik, Toha sudah sangat nyaman mengajar di sekolah itu sebelum Barga datang dan mengacaukan segalanya.
"Berani taruhan, kalian pasti berselisih soal role sex saat bercinta di ranjang," tebak Bu Esti sambil melirik geli ke pantat Toha. Beringsut gelisah di kursi selang beberapa menit sambil meringis menahan nyeri. "Meski menurut saya, kamu lebih cocok di bawah; anggun mengangkang daripada sok gagah menancap lobang."
Toha mendengus berang saat sadar akan kebenaran pendapat Bu Esti; dia memang kurang jantan. "Bu Esti berada di pihak siapa, sih? Bukan bela sahabat sendiri, malah musuh yang dielu-elukan."
"Saya netral. Tidak mendukung kedua belah pihak," sahut Bu Esti sambil menyilang lengan membentuk simbol X ke depan dada.
Toha mengedik bahu, urung memprotes. "Yeah, sebagian memang benar. Tapi tidak soal berebut role sex."
"Jadi," sambar Bu Esti lekas memajukan badan mendekat. "Kalian ada masalah apa? Dia kurang bikin kamu puas di ranjang?"
Toha tercengang, nyaris terperangah. Apa benar dia tampak sebinal itu? "K-kami saling puas, kok. Cuma kurang sepaham soal ... prinsip."
"Mana ada prinsip saat bercinta, Toha?" debat Bu Esti sambil menjentik jempol dan telunjuk serupa pistol ke depan muka Toha. "Saya kira, bersanggama hanya butuh ledakan gairah yang terjadi secara spontan dan tanpa direncanakan."
Toha tidak berusaha membantah. "Ini .. lebih rumit dari sekadar reaksi hormon, kau tahu? Semacam deja vu."
"Deja vu?" ulang Bu Esti dengan kening mengerut.
Toha memejam mata berusaha memilah beragam rasa dari sisa bara yang membakar gairah saat tidur seranjang dengan Barga. Bagaimana sentuhan kasar bakal janggut dan sapuan lembut bibir lelaki itu mampu melumpuhkan logika dan membangkitkan hasrat terpendam relung hati terdalam.
Napas Toha tersekat saat mengingat sensasi hangat dan nyaman saat bergelung dalam dekapan lengan Barga. Betapa manis untuk dilupakan sekaligus begitu sakit untuk tetap dikenang dalam ingatan.
"Bercinta dengan Barga mengingatkan dosaku di masa lalu; mencintai seorang pria," kenang Toha dengan nada bergetar. Mengatur napas berusaha mengendalikan diri.
"Jadi, kalian bertengkar karena pria itu?" simpul Bu Esti sambil melipat tangan ke meja.
Toha mengedik bahu sambil beringsut gelisah di kursi, "Dia hanya ... bagian dari masa laluku."
"Yeah ... masa lalumu," beo Bu Esti dengan nada bosan. "Bagaimana dengan Barga? Apa sekadar tempat pelarian karena kamu tidak bisa mencuri hati pria itu?"
Toha mengerang frustrasi dengan pertanyaan beruntun Bu Esti. "Ya tuhan, apa kau tahu kalau Barga itu gebetan pertama putriku?"
Bu Esti memutar bola mata. "Dan kau sudah tidur dengan calon menantumu?"
Toha kontan merengut sebal. "Benar. Barga merupakan kesalahan kedua dalam hidupku."
"Aku punya sesuatu untukmu," celetuk Bu Rita mendadak berdiri di depan meja Toha sambil mengulur kotak bekal berisi biskuit cokelat ke seberang meja.
Guru bahasa inggris dengan dadanan yang selalu berhasil menjerat mata semua guru pria mau pun siswa di sekolah itu setiap kali melintas di depan mereka.
Bu Esti mengecam keras dampak dari penampilan Bu Rita yang menurunkan martabat guru wanita, namun tetap mendapat sanjungan dari guru pria yang kerap menatap penuh puja. Bahkan kepsek tidak menindak tegas soal gaya busana guru bahasa inggris itu yang melanggar norma kesopanan dalam berpakaian.
Toha terkesiap ketika sadar Bu Rita memberikan kotak cokelat itu ke Barga yang sudah menggeser kursi dan duduk santai dengan sebelah lengan bersandar di susuran punggung kursi Toha. Refleks bangkit berdiri seperti baru tersengat arus listrik.
"Tangan kamu kenapa?" tanya Bu Rita saat melihat perban membalut buku jari Barga.
"Latihan tinju," sahut Barga asal, mengambil kotak biskuit itu dari tangan Bu Rita dan menaruhnya di meja Toha. Tampak tak berminat menikmati suguhan erotis belahan dada yang mencuat beberapa senti dari kerah seragam dinas dengan satu kancing bagian atas sengaja dilepas.
"Semoga lekas sembuh dan jangan lupa dimakan kukisnya. Aku bikin sendiri, lho."
Barga mengangguk dan kembali menatap Toha masih berdiri gamang di samping meja.
Bu Rita kembali ke mejanya sambil menggerutu karena gagal menarik perhatian Barga. Padahal biasanya para lelaki yang mengantre mengemis cintanya.
"S-sejak kapan kau duduk di situ?" tanya Toha sambil mencari petujuk seberapa banyak obrolan mereka yang sudah didengar Barga.
"Sekitar sepuluh menit, mungkin?" sahut Barga sambil mengedik bahu dan membuka tutup kotak bekal, lantas menyodorkan kotak itu ke Toha. "Ambil saja kalau mau."
Toha menggeleng sambil melirik Bu Esti yang tampak tidak kaget saat tahu Barga duduk tepat di belakang kursinya selama mereka mengobrol. Sulit dipercaya kalau ada konspirasi di antara mereka. "Kau ... menguping?"
"Tidak, aku hanya penasaran," sangkal Barga sambil meraup segenggam penuh dan menjejalkan biskuit cokelat itu ke mulut. "Tapi apa kau tahu, Toha? Kesalahan bisa diperbaiki dan selalu ada pengampunan untuk setiap dosa di dunia ini."[]