(51)

3K 150 10
                                    


Sebulan belakangan ini, intensitas Imran absen makan malam di rumah menanjak dari bilangan dua menjadi empat kali dalam sepekan dan terus bertambah naik setiap berganti bulan.

"Pa?" panggil Nisa kecil begitu melihat nasi di piring Toha masih utuh. "Papa nggak makan?"

Pandangan Toha segera beralih dari pintu ruang tamu ke sisi kanan meja makan di mana bocah balita itu duduk bersama semangkuk bubur dan sebotol penuh susu. "Nisa kangen nggak sama ... Papa Imran?"

Bocah balita itu merunduk sambil mengaduk malas bubur dalam mangkuk. Lantas menggeleng pelan. "Nisa udah seneng kok makan berdua sama Papa di rumah," sahut balita itu sambil melirik waswas seakan takut akan kena omelan kalau salah menjawab.

Toha mengembus napas kecewa. "Nis?"

"Ya, Papa?" balas balita itu sambil mendongak dan menatap Toha dengan selingan kedipan bingung.

"Nisa bisa bantu Papa, nggak?"

"Bantu?"

Toha mengangguk antusias. "Bantu Papa bujuk Papa Imran pulang," pinta Toha dengan sorot penuh harap.

Raut bingung balita itu berangsur murung. Meski begitu, dia tetap mengangguk. "Nisa mau, Pa."

Toha memekik senang, refleks mengulur tangan ke sisi meja dan mencubit gemas pipi gembil belepotan noda bubur itu. "Makasih, Nisa Cantik."

Segera merogoh saku dan men-dial nomor kontak Imran dengan cekatan. Bahkan tanpa menatap deretan tombol angka keypad di layar ponsel.

Panggilan baru tersambung pada dering ketiga dengan latar gemerisik seprei tergilas sebelum suara berat dan serak merebut perhatian Toha dari bebunyian yang mengusik benak itu.

"Aku sibuk, Toha," sahut suara dari seberang sana.

Secara otomatis, pikiran Toha segera merekonstruksi gambaran sebuah kamar hotel dengan seprei ranjang berantakan beserta tumpukan pakaian berserakan di lantai marmer. Bahkan Toha berani bersumpah, dia bisa mengendus aroma ganjil itu merebak melalui transmiter selular.

"Nisa ingin bicara denganmu," balas Toha setelah berdeham pelan dan menaruh ponsel di meja depan dalam mode loudspeaker.

"Pa?" panggil Nisa kecil setelah mengikuti instruksi dari Toha.

"Ada apa, Manis?" tanya Imran berganti nada dari datar dan apatis menjadi penuh perhatian.

"Papa di mana?"

"Masih sibuk di kantor, Sayang."

Toha memutar bola mata. Mana ada ranjang di kantor. Lagipula tidak ada cukup ruang untuk menaruh ranjang di sana, bahkan dengan ukuran single bed.

"Kapan pulang?" tanya Nisa kecil cepat tanggap dalam membaca gerakan tangan Toha.

Ada dehaman gusar di seberang sana.

"Nisa kangen sama Papa," tandas Nisa dengan nada dramatis mematuhi arahan gerak bibir dan mimik muram Toha.

Toha lekas menyambar ponsel dan menaruh kembali ke telinga setelah memasang mode suara kembali normal. "Kau dengar itu, Imran? Kau lebih peduli pada siapa; putri kecil kita atau klien gadunganmu di luar sana."

"Tentu saja aku lebih peduli dengan Nisa. Tapi ... demi tuhan, Toha. Aku sedang--"

"Pulang," tukas Toha tegas. Sudah lelah dengan seribu alasan dari pria itu agar bisa mengulur waktu pulang ke rumah.

"Toha--"

"Sekarang."

Ada geraman panjang terdengar di seberang sana.

"Kau mau Nisa sakit karena telat makan?" sambung Toha berusaha memancing rasa bersalah dari ulah sembrono pria itu. "Dia menunggumu, Imran."

Ada umpatan teredam sebelum terdengar kembali sahutan dari suara berat dan serak itu. "Aku segera pulang, oke? Bilang pada Nisa aku akan sampai di rumah kurang dari sepuluh menit."

Toha segera memutus sambungan telepon setelah mengucap salam dan selusin wejangan soal bahaya melanggar batas kecepatan mengemudi. Lantas mengacak rambut bocah balita yang sedang lahap menyuap bubur sambil mengulum senyum puas.

Derum mobil terdengar di pekarangan depan selang sepuluh menit setelah Toha mengantongi ponsel di saku celana. "Ayo, kita sambut Papa Imran pulang," ajak Toha sambil menurunkan bocah balita itu dari kursi tinggi.

"Ayo, kasih pelukan sana," bisik Toha di telinga Nisa kecil begitu mereka tiba di ruang tamu. Lantas melepas gandengan tangan dan mengangguk saat kepala bocah itu menoleh ragu sebelum menghambur ke dalam pelukan hangat Imran.

Imran segera membopong dan menghujani ciuman beruntun di kedua belah pipi balita mungil itu. Lantas tertegun kala menangkap noda bubur kering di sudut bibir yang luput dari sapuan tisu.

Toha lekas menoleh ke arah lain saat mendapati lirikan curiga pria itu.

"Oh, sialan ... Papa baru saja kena tipuan kalian," simpul Imran sambil mengusap lembut noda di sudut bibir dengan jempol dan membenam kepala di perut Nisa kecil sebagai aksi pembalasan yang sontak memekik kegelian sambil menabok dan menjambak rambut pria itu.

Toha melipat kedua tangan ke dada sambil satu sisi badan bersandar ke tembok. Menatap haru kedekatan Imran dan balita mungil mereka. Betapa tulus serta penuh kasih tampak kentara dalam senyum dan sorot teduh pria itu.

"Cukup, Imran. Nisa bisa mengompol kalau tidur nanti," ucap Toha begitu napas balita itu mulai tersengal serta suara jeritan bersisip serak.

Nisa kecil segera merangkul erat leher Toha begitu lolos dari penjara lengan Imran. "Papa ... Papa?"

Toha bergumam sambil melirik kepala bocah itu yang bersandar di bahu dengan sisi muka menghadap telinga kanan Toha.

"Papa Imran bau asem," bisik bocah itu sambil membentuk jemari serupa corong ke telinga Toha.

Toha tergelak sementara telapak tangan besar Imran menangkup dan mengacak rambut batok kepala saat mendengar pengakuan jujur bocah itu.

"Sudah, Imran. Hentikan, oke?" pinta Toha sambil menepis gelitikan jari pria itu di punggung Nisa kecil. Lantas memutar badan dan tertegun begitu lengan Imran melingkar ke perut dan merengkuh tubuh Toha dalam dekapan.

Refleks Toha mendongak dan menoleh menatap Imran saat punggung membentur dada bidang itu. Menahan napas kala sadar jarak bibir mereka begitu dekat. Hanya butuh dorongan kecil agar kedua bibir itu melebur dalam satu ciuman panas dan berakhir saling menindih di ranjang.

Namun intuisi Toha kurang tanggap mengambil kesempatan dalam posisi rentan mereka; hanya butuh percikan bara api untuk membakar sumbu gairah mereka yang siap meledak kapan saja.

"Papa?"

Pandangan Toha beralih dari lekuk bibir sensual dengan selarik bakal janggut mencuat kasar di sepanjang rahang tegas pria itu ke sosok mungil dalam gendongan. Imran pasti lupa cukuran saat mandi pagi.

"Nisa benar. Kau bau sekali, Imran," ledek Toha sambil menggusur lengan pria itu yang melingkar di perut. "Mau mandi dulu?"

Imran mengangguk sambil melangkah mundur. Mengambil jarak aman. "Gerah sekali di jalan."

"Oke, selagi kau mandi," sahut Toha sambil menuju ke dapur dengan jatung masih berdebar dan napas tersengal. "Aku akan menjerang makan malam agar hangat saat kau santap nanti."[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang