Sebulan berselang sejak memiliki nomor kontak Imran, Toha masih belum berani bicara dengan pria itu. Mengirim pesan sederhana saja sudah bikin tubuh panas-dingin, apa.lagi kalau mencoba menelepon. Dia tidak yakin akan sanggup berbicara, bahkan untuk sepatah kata pun.Dania terus mendesak Toha agar lebih berani membuka diri, meski tidak memaksa saat pemuda itu menolak gagasan untuk mengajak ketemuan.
"Bener, sih. Kalau sudah jodoh memang, nggak bakal lari ke mana," celetuk Dania setuju dengan mitos sejuta umat itu. "Tapi .... apa kau tahu, Toha? Pacaran belasan tahun belum menjamin sepasang kekasih bisa menikah dan berakhir bahagia."
Namun Toha tahu benar alasan di balik rasa enggan untuk segera bertemu pria itu. Dia sadar belum siap menuai rasa kecewa dan sakit hati ketika realita tidak berjalan sesuai harapan. Bagaimana kalau Imran hany.a menganggap hubungan mereka sekadar teman? Tidak lebih sebagai kawan bicara di kala bosan.
Toha bisa menunggu, meski tahu akan sangat melelahkan. Apalagi tanpa kepastian.
Namun penantian itu berakhir pada Sabtu siang, sebuah pesan undangan dari Imran memupus keraguan di hati Toha.
"Kapan?" tanya Dania begitu Toha menelepon.
"Pukul tujuh malam ini. Di lapangan alun-alun kota," jawab Toha sambil memekik penuh antusias. "Kau tahu, setiap malam minggu di sana selalu penuh orang ..."
"Pacaran," sambar Dania seakan bisa membaca pikiran Toha. "Pilihan bagus, cukup romantis. Dla pasti berencana ingin menembakmu di sana, Toha."
"Yeah, semoga saja tebakanmu benar," sahut Toha meragu. Takut kecewa dengan harapan semu. "Jadi, apa kau bisa membantuku ... berdandan? T-tidak harus menawan, namun cukup enak dipandang."
"Oh, sialan ... kenapa mendadak sekali?" umpat Dania di seberang sana.
"Kau ... sibuk?"
"T-tentu saja tidak," sahut Dania cepat meski ada nada gusar di sana. "Aku bisa batalin beberapa janji hari ini."
"Kau ada acara ... malam ini?"
"Acara nggak penting. Cuma nonton bareng temen, oke?" tegas Dania berusaha terdengar apatis "Jadi, kita akan belanja baju di mana?"
Dua jam kemudian, mereka sibuk memilih baju dan celana di toko busana. Toha mencoba memakai beberapa setelan pilihan Dania, berputar pelan di depan cermin setinggi badan seperti model sedang memeragakan busana desainer terkenal di atas panggung pameran busana.
Dania bergumam mengamati penampilan Toha dengan sorot penuh penilaian sambil mengetuk dagu pelan. "Kurang cocok, agak terlalu formal. Kau pergi bukan untuk mengadakan rapat atau menghadiri prosesi pernikahan."
Toha mengedik bahu dan kembali masuk ke ruang ganti sambil membawa setelan baju lain. Lima menit kemudian keluar dalam balutan kaus putih polos berangkap kemeja hijau zamrud tanpa dikancing serta lengan digulung sampai siku dengan celana selutut dan bersepatu kets, lengkap dengan arloji hitam melingkar di tangan bersama gelang pilinan benang berumbai sebagai aksesori tambahan.
Dania tersenyum puas sambil mengacungkan kedua jempol. "Oke, sekarang giliran kita rombak potongan rambutmu dan kau akan tampil memukau seperti ulat yang baru menentas dari kepompong."
"Jangan hiperbolis, Dania. Aku lebih suka analogi bebek hitam di tengah sekawanan angsa putih," tentang Toha sambil melengos dan memilin rambut di pelipis.
"Berhenti bersikap merendah, Toha. Lihat dirimu," balas Dania sambil memutar badan Toha menghadap ke cermin. "Kau menarik, oke?"
"B-bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa ... kau tahu, berbeda?"
"Tidak ada yang salah mencintai sesama pria, Toha. Karena kita tidak bisa memaksa hati ke mana harus memilih," sahut Dania sambil meraih dan menggandeng tangan Toha. "Ayo, ke salon."
Tanpa terasa hari beranjak malam, alun-alun kota tampak meriah dengan puluhan pasangan bercengkerama dan mengadu kasih di bawah bentangan langit temaram tanpa bintang. Kesiur angin berembus dingin ke sepenjuru lapangan beralas batu paving.
"Semoga tidak hujan malam ini," doa Dania sambil menengadah menatap arakan awan gelap menggantung rendah dari arah timur seakan sudah tidak sanggup menampung muatan air.
"Yeah, semoga bukan pertanda buruk."
Dania kontan mengerling sinis sambil menyenggol pelan bahu Toha. "Kenapa, takut ditolak?"
"Hei ... bukan aku yang menembak, oke?" sahut Toha dan kaget mendengar nada pedas di sana. "Berhenti meledekku."
Dania mengedik bahu. "Jangan tegang begitu. Ya tuhan, kau tidak akan mati jantungan kalau nanti Imran betulan menembakmu."
Toha mendengus gusar. "Aku hanya gugup, kau tahu? Ini lebih buruk daripada harus berpidato di atas panggung."
Dania mengangguk. "Santai saja, oke? Semua akan berjalan baik."
Dering ponsel Dania menjeda obrolan. Kening Toha mengerut begitu mendengar Dania mengumpat pelan saat memeriksa layar ponsel. "Siapa?"
"Pesan salah kirim," sahut Dania sambil menaruh ponsel itu kembali ke saku celana. "Biasa kelakuan cowok iseng."
"Repot emang punya banyak fans."
"Sudah lebih lima menit," kata Dania sambil melirik arloji. "Kau mau aku tetap ... di sini?"
Toha mengedik bahu lesu. "Aku butuh seseorang kalau semisal Imran berubah pikiran."
"Dia pasti datang, kok. Aku sudah--"
"Kau benar, Dania. Lihat, bukankah itu ... Imran?" potong Toha sambil menunjuk ke arah pengendara motor di pelataran parkir motor pinggir lapangan alun-alun.
"Yeah, benar. Pangeranmu sudah datang," kata Dania sambil mendorong pelan punggung Toha. "Jangan kecewakan aku. Tebar pesonamu, Toha."
Toha mengangguk, mulai meniti langkah ke arah pria itu. Karangan obrolan yang sudah tersusun rapi di kepala seketika berhamburan ketika melihat senyum menawan di bibir Imran. Bahkan sampai lupa cara bernapas begitu jarak mereka semakin dekat.
Aliran waktu seakan melamban kala langkah mereka bertemu di satu titik, namun lintasan rel mereka bercabang. Toha melurus ke depan, sementara Imran membelok ke kanan. Tanpa ada gesekan, apalagi benturan.
Kilat petir mencakar langit bersambung gemuruh guntur menelan suara Imran yang sudah berdiri di hadapan Dania dengan sebuket mawar merah di satu tangan.
Dania terus menggeleng sambil menoleh ke Toha yang bergeming menatap mereka dengan tatapan kosong. "Brengsek ... Toha!" panggil Dania begitu Toha berbalik, membaur dengan rombongan pasangan di tengah lapangan.
Toha terus melangkah tanpa arah, menerabas kerumunan ketika gerimis mulai menderas membasahi lapangan. Memaksa pasangan muda-mudi bergegas mencari tempat berteduh dari guyuran hujan.
Segera membekap mulut kala meredam isak dan menggigit keras punggung tangan kala sesak mulai menekan dada. Tak peduli dengan benturan badan maupun senggolan bahu ketika melangkah gontai melawan arus kerumunan itu.
Cukup sulit mengejar Toha dengan kerumunan orang yang berlarian ke arah berlawanan. Dania berusaha tetap bergerak maju meski beberapa kali terdorong mundur saat membentur badan seseorang.
Jauh di sana, Dania melihat Toha menaiki taksi yang memarkir di sisi lain lapangan. "Toha, dengarin dulu penjelasanku!" jerit Dania sambil memukul kaca jendela jok belakang taksi itu.
Napas Dania tercekat dengan mata membulat tak percaya ketika melihat acungan jari tengah di balik kaca hitam itu. Menendang bumper mobil saat taksi meluncur pergi.
Menoleh saat mendengar kecipak air mendekat, mendengus begitu mendapati Imran berdiri di sana dengan buket bunga mawar basah di tangan kanan.
Dania mendekat, merebut buket bunga itu dan membuangnya begitu bertemu tempat sampah pinggar jalan. Melenggang pergi tanpa sekali pun menengok ke belakang.[]