(43)

2.7K 160 8
                                    


Di pengujung trimester kedua, Dania bersedia melakukan pemeriksaan USG di klinik kandungan atas desakan Toha dan Imran untuk mengetahui jenis kelamin janin dalam kandungan.

"Berani taruhan; anak kita pasti laki-laki," tebak Imran sambil menaruh kepala di pangkuan Dania dan menempelkan telinga ke perut besar gadis ltu. "Dan hiperaktif," sambung Imran begitu mendeteksi banyak gerakan di dalam sana.

"Singkirkan kepalamu, Brengsek. Kau menakuti bayiku," desis Dania sambil mendorong kepala Imran dari pangkuan.

"Jangan nakal, Nak. Kasihan mamamu kesakitan," nasihat Imran mengabaikan pelototan Dania sambil mengelus dan memberi kecupan sayang ke perut besar itu sebelum beranjak bangkit dari kursi ayunan kayu dengan bantalan kapas di balkon lantai dua rumah mereka, sore itu.

Menepi ke sisi balkon dan berdiri dengan tangan bersandar ke handrail dan menoleh menatap Toha yang duduk di kursi berlengan sebelah ayunan kayu sambil mengudap sepiring kacang rebus di pangkuan. "Kau pilih mana, Toha?"

Toha segera mendongak dari atas piring setelah sibuk memilah kulit kacang mana saja yang belum dibuka dan menyesal karena tidak serius menyimak obrolan mereka. "M-maaf?"

Imran menggeram akan sikap apatis Toha. "Soal gender anakku dan Dania. Menuru--"

"Anak kita bertiga," tukas Dania dengan kepala merunduk serta jemari cekatan menusuk jarum dan merajut benang di pangkuan. "Toha suamiku."

Imran hendak protes, namun urung. Lebih memilih mengalah dari gadis itu. "Oke ... anak kita bertiga," ralat Imran kembali menatap Toha. "Menurutmu; laki-laki atau perempuan?"

Toha lantas menatap mereka bergantian sambil bergumam. Bimbang mengambil keputusan.

"Toha," panggil Dania dengan nada menuntut dan mata mendelik sangar.

"Kami menunggu, Toha," desak Imran sambil menghadap lurus ke Toha dengan telunjuk kanan mulai sibuk mengetuk susuran pagar balkon. "Pilihanmu?"

Toha meneguk ludah begitu sadar dengan lekukan kotak di bagian perut serta sepasang puting mencuat mungil di dada bidang tampak kentara dibalik kaus tipis putih polos lengan pendek pria itu.

Meski hampir sebulan penuh mereka tinggal serumah dan tidur sekamar, namun pemandangan erotis itu tetap saja; memesona. Oh, persetan!

"Pasti sulit konsentrasi kalau rumah ini penuh suara gaduh," sahut Toha merangkai kata dengan cermat. "Kau tahu, suasana damai bisa meningkatkan fokus dan kinerja otak kita dalam memilah dan menyimpan informasi dalam jangka panjang."

Imran merengut kecewa. "Oh ... ayolah, Toha. Kau yakin tidak ingin punya jagoan kecil milik kita sendiri? Kita bisa main sepak bola bersama di pekarangan setiap sore dan pergi memancing sepekan sekali,," angan Imran sambil berbalik menghadap ke halaman berumput cukup luas serta kolam ikan emas di belakang rumah mereka.

"Dan memecahkan semua jendela rumah kita?" sambung Toha sambil mengedik bahu. Ada perasaan senang, bukan takut saat menangkap kedutan samar di sudut bibir dan semburat urat menegang di rahang pria itu.

"Rumah kita akan tambah berantakan tanpa ada gadis kecil yang bisa mengurus kalian," tandas Dania sambil kemball merunduk dan merajut benang wol menjadi sweter hangat mungil.

Namun kini, Dania berbaring telentang di atas brankar dengan selang kabel menempel ke perut dan tersambung ke monitor sonogram; menampilkan siluet buram sosok janin di dalam sana.

Di samping brankar, Imran dan Toha menatap tak berkedip layar monitor itu dengan jantung berdebar.

Imran kontan mengerang penuh kekalahan saat menemukan bagian di antara paha janin itu rata tanpa ada sembulan tongkat mungil mencuat dari sana.

Toha dan Dania refleks saling menepuk telapak tangan sambil bersorak riang merayakan kemenangan.

"Jangan lupa taruhanmu, Imran," celetuk Toha sambil menatap pria itu. "Beberes rumah serta mencuci piring sebulan penuh."

"Menjemur pakaian dan memotong rumput di pekarangan," sambung Dania sambil tertawa puas melihat tampang merana Imran.

"Oh, sialan," umpat Imran sambil mengacak rambut berang. "Tapi, tak apa. Demi anak kita, aku rela menjadi babu kalian tanpa imbalan."

Toha dan Dania kompak memutar bola mata; sudah bisa menebak reaksi pria itu.

Sepulang dari klinik, mereka singgah ke toko perlengkapan bayi. Segera menuju bagian rak pakalan bayi perempuan begitu masuk ke sana.

Dengan cermat, Dania memeriksa barisan rak bersama Imran mengekor dari belakang sambil mendorong troli. Sementara Toha berada lima langkah di belakang mereka.

"Ambil saja semua kalau suka," kata Imran ketika melihat Dania berdiri bingung sambil menggigit telunjuk. "Biar nanti aku yang bayar."

"Simpan saja uangmu. Aku tidak butuh," sahut Dania sambil merenggut dua lembar kain bebat bayi, lantas menenteng kain itu ke arah Toha. "Kamu lebih suka mana, Toha?"

Toha bergumam sambil melirik Imran dari balik bahu Dania. "Sebelah kanan lebih nyaman di pandang," pilih Toha sambil menunjuk kain warna cokelat muda di tangan Dania.

"Selain nyaman di mata juga menyarukan noda kotor di serat kain," sahut Dania setuju sambil menaruh kain bebat itu ke troli dan kembali menyusuri barisan rak itu.

Sebelum pulang, mereka sempat mengunjungi toko ornamen dekorasi kamar bayi dan baru tiba di rumah pukul tiga sore lewat sepuluh menit.

Imran segera membongkar bagasi dan mengangkut barang perlengkapan bayi ke lantai atas serta memasang ornamen dan box bayi di ruang kosong itu.

Karena belum sempat makan siang dan malas jalan keluar, mereka sepakat memilih beli makanan pesan-antar. Toha segera pamit turun begitu bel rumah berdering.

Kembali naik sambil membawa sekotak pizza ukuran jumbo bersama tiga gelas cola dingin ke kamar bayi dan tertegun kala mendapati ruangan itu kosong.

Padangan Toha beralih ke kibaran gorden pintu geser yang bersambung ke balkon kamar utama dan tanpa pikir panjang menuju ke sana.

Napas Toha tersekat mendapati Dania duduk dengan kepala bersandar ke susuran punggung kursi ayunan sambil memejam mata bersama Imran yang tampak pulas di pangkuan; berbaring menelentang ke samping dengan separuh kaki menggantung di ujung kursi berayun itu.

"Toha?" panggil Dania begitu mendengar tapakan kaki bergerak menjauh.

"Kalian pasti lelah. Lebih baik aku taruh di dalam," sahut Toha sambil berusaha mengatur intonasi agar tetap stabil, namun gagal. Suaranya pecah dan bergetar. "Makan saja kalau kalian lapar."

"Kemari," pinta Dania sambil menepuk pelan ruang kosong di sebelah kanan dengan mata masih menutup rapat. "Temani aku di sini."

Toha hendak membantah, namun melihat sorot putus asa di mata gadis itu saat perlahan membuka. Dia tahu, tidak punya pilihan selain mendekat.

Segera duduk di sebelah kanan Dania setelah menaruh lebih dulu tiga gelas cola di atas kotak pizza di kursi berlengan. Menarik napas panjang, mencoba menambal lubang yang semakin merongga di relung hati.

Tersentak begitu Dania mengenggam dan membimbing tangan Toha meraba muka lelap Imran. "Tak apa, Toha. Sentuh saja," bujuk Dania sambil terus menuntun jemari Toha menyusuri ke setiap lekuk serta gurat kasar garis wajah pria itu.

"Bagaimana?" tanya Dania sambil menoleh menatap Toha yang masih meragu untuk mengembara lebih jauh. "Kau ... suka?"

Kenyataan pahit dari kata itu memicu ledakan emosi dalam diri Toha. Bendungan yang sebulan lalu dibangun kukuh, kini runtuh dan tangis pun tumpah dari mulut Toha.[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang