Jarum panjang hampir mendekati angka lima ketika pintu ruang periksa berderit membuka. Kening Imran mengerut begitu mendapati sosok pemuda mengenakan kaus putih polos berangkap jaket kulit gelap melenggang masuk dan duduk di kursi pasien seberang meja kerja tanpa permisi."Klinik kami sudah tutup hari ini. Silakan datang kembali besok pagi," kata Imran berusaha bersikap ramah sambil menggulung lengan kemeja sebatas siku, serta menarik simpul dasi agak sedikit mengendur.
"Saya datang kemari bukan untuk periksa, Dokter."
Raut bingung Imran berubah waspada begitu sadar ada bahaya mengintai dari balik sorot tajam mata pemuda asing itu.
"Lebih baik kamu segera keluar dari ruangan ini, Nak. Sebelum saya panggil petugas keamanan kemari," pinta Imran dengan nada mengancam sambil mengangkat gagang telepon di sudut muka meja.
"Tulang lunak hidung mancung Anda pasti sudah patah saat mereka tiba di sini," sahut Barga sambil mengulurkan tangan. Merebut gagang telepon dan menaruh kembali ke tatakan. "Jangan persulit masalah ini, Dokter."
Imran segera menarik badan ke belakang, bersandar ke punggung kursi serta menaruh siku di bantalan lengan kursi putar beroda itu.
"Ada perlu apa kamu menemuiku?" tanya Imran sambil merangkai jemari membentuk piramid dengan kedua alis saling menaut berusaha mengenali siapa gerangan sosok pemuda misterius itu. Barangkali satu dari sekian keluarga pasien reguler yang merasa kecewa dengan penanganan medis kantor praktik itu. "Apa kita pernah bertemu, Nak? Di suatu tempat entah di mana, mungkin?"
Mendengus geli akan usaha Imran agar tampak penuh wibawa, namun malah terdengar sinis di telinga Barga. Ayolah, dia bukan bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa.
"Tidak penting kita bahas siapa aku," tukas Barga sambil mengedik bahu dan mencondongkan badan ke seberang meja. "Langsung saja; ada urusan apa kau dengan Toha, Dokter?"
Imran tertegun sejenak sebelum bereaksi. "Toha?"
"Tadi pagi di kedai kopi seberang jalan," sambung Barga cepat. Tidak memberi Imran kesempatan untuk mengelak atau membela diri dari kesalahan.
"Kami ... berteman," sahut Imran dengan nada meragu.
Barga berusaha menahan gerakan bola mata agar tidak berputar. "Dan map cokelat itu?"
Imran mengumpat tanpa sadar sambil meninju udara kesal, "Nggak baik mencampuri urusan orang, Nak."
"Apa yang sudah kalian sembunyikan?" desak Barga tidak peduli dengan tatapan penuh peringatan Imran. "Kalian berselingkuh?"
"Kau keliru, Nak," bantah Imran sambil mengusap muka dan mengusak rambut gusar. "Map cokelat itu hanya ... uang jaminan."
Sebelah alis Barga terangkat. "Jaminan?"
Imran mengiyakan. "Aku bingung dari mana harus mulai menjelaskan."
"Kita bisa mengobrol di sini sepanjang malam," saran Barga sambil melipat rapi kedua tangan di meja. Bersiap mendengarkan.
Imran menatap bimbang. "Aku ada janji makan malam dengan keluargaku di rumah."
"Jangan harap bisa keluar dari ruangan dengan selamat sebelum aku tahu semua rahasia busukmu, Dokter," balas Barga datar namun tegas sambil mengamati sosok Imran tampak yang mulai merenta.
Dari jarak dekat, Imran tampak lebih tua dari bayangan Barga saat berada di kedai kopi. Garis rambut mulai bergerak mundur menjauh dari dahi bersisip keriput, menipis ke pucuk kepala dan mulai beruban di sisi pelipis.
Dengan satu pukulan telak, Barga yakin bisa dengan mudah menumbangkan badan Imran dan memaksa pria itu membuka mulut.
"Jangan sekali pun berani bertindak bodoh, Dokter," ujar Barga begitu menangkap gerakan tangan Imran hendak menarik laci meja.
Imran tersenyum sinis menatap gelagat tegang pemuda yang berusaha mengertak dengan tangan kosong. Salah besar kalau tamu tanpa undangan itu berpikir dia akan gentar dengan gertakan sambal itu. Menggelikan sekali.
Barga mendengus dengan tatapan meremehkan sambil terus mengawasi tangan Imran masih sibuk menggeledah laci mencari sesuatu. Bersiaga satu menanti kemungkinan terburuk.
Bogeman mendarat mulus ke pipi kala Imran menirukan bunyi letusan senapan sambil menodong tangan dengan jempol dan telunjuk membentuk pistol ke arah Barga.
"Sori ... aku tak sengaja, Dokter," sesal Barga saat melihat darah mengalir dari rekahan sudut bibir Imran. "Kau tahu, semacam gerakan refleks?"
"Lain kali tinjumu harus tepat mengenai titik vital, Nak," sahut Imran sambil mengusap sudut bibir dan berharap tidak ada satu pun gigi dalam rongga mulut yang tanggal akibat hantaman keras itu. "Kalau aku betulan bersenjata tadi, kau pasti sudah terpakar mati di bawah sana."
"Sialan ... kau berhasil menipuku, Dokter," sungut Bargan ketika sadar dengan lelucon Imran yang sama sekali tidak lucu. "Kau tidak akan mengadu soal pukulan tadi ke ... Toha, kan?"
Imran menggeleng lantas mengambil dokumen dari laci dan melemparkan ke depan Barga. "Semua yang ingin kau tahu ada di dalam sana."
Rasa takut merebak di hati Barga begitu membaca nama Toha di sampul dokumen itu. "Apa ini?"
"Baca saja," pinta Imran sambil menatap lekat ke dalam mata Barga.
"Kau paham sekarang?" sambung Imran begitu melihat Barga menutup dokumen itu dengan mata memejam rapat seakan enggan melihat kebenaran dalam rekam medis kesehatan Toha yang terdata di sana.
"Nisa ... putri kandungmu," simpul Barga dengan suara hampa harus mengakui kebenaran pahit itu.
Imran mengangguk dengan tatapan sayu. " Toha mandul."[]
