(47)

2.6K 164 10
                                    


Mereka pindah sehari setelah insiden percobaan pembunuhan itu. Imran berjanji akan berubah menjadi sosok ayah yang lebih baik lagi bagi Nisa.

"Kasih aku kesempatan, Toha," pinta Imran kala mereka sedang mengepak barang bersama.

"Oke, hanya sekali. Kalau gagal, kau harus pergi dari kehidpan kami." Jelas itu hanya bualan karena jauh di lubuk hati, Toha tahu tidak akan mampu menolak pria itu.

Rumah baru mereka tidak cukup besar. Hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu serta dapur dan kamar mandi. Namun lebih baik daripada harus tidur di rumah itu yang terasa mencekik dan mengisap habis energi mereka.

Dengan pinjaman modal dari ayahnya, Imran membuka tempat praktik di kawasan cukup elit, namun kurang strategis karena harus mampu bersaing dengan gedung rumah sakit mewah serta posisi kantor yang jauh dari ruas jalan utama.

Namun karena alasan finansial saja, Imran memilih kantor itu dengan harga sewa gedung lebih murah dan berkat bantuan teman semasa kuliah dulu, kantor praktik itu mulai mendapat perhatian. Meski tidak terjadi dalam semalam.

Pada malam hari pembukaan kantor praktik itu, Imran pulang dengan sekotak penuh kaleng bir ke rumah.

"Kau sudah janji tidak akan mabuk lagi," tegur Toha sambil merebut kaleng bir dari tangan Imran.

"Ayolah, Toha. Tiga kaleng bir tidak akan bikin aku mabuk."

"Yeah, tapi sekarang kau sudah minum lima," koreksi Toha sambil melirik deretan kaleng kosong di atas meja sofa ruang tamu.

"Oh, sialan," umpat Imran sambil mengusap muka gusar.

"Tidak boleh ada asap rokok di sini," celetuk Toha sambil mencabut sebatang rokok yang terselip di mulut Imran  serta merebut korek gas dari tangan pria itu. "Nisa baru tidur di kamar."

"Oke, ambil saja semua," gerutu Imran sambil membuang muka dengan tampang cemberut. "Aku nggak butuh."

"Merajuk, nih?" ledek Toha sambil tersenyum geli dan hendak menjewer telinga pria itu, namun urung ketika ekor mata menangkap pendar lampu memantul di bingkai foto Dania di atas meja kecil sudut sofa. "Mau kuambilkan bantal dan selimut?"

Imran menggeleng, menyambar remote dan menyalakan tv. "Belum mengantuk. Kau tidur saja dulu," sahut Imran tanpa menoleh dari layar tv.

Toha mengangguk. "Jangan begadang."

Setiba di kamar, Toha segera merebah di sebelah bayi mungil mereka yang sudah pulas dengan mulut tersumbat dot bayi. Menggeliat saat Toha mengecup pipi.

"Imran kecilku, kau akan selalu bersamaku," bisik Toha di telinga bayi mungil sambil menepuk lembut sampai bayi itu kembali tidur.

Pukul tengah malam Toha bangun untuk mengambil air minum di dapur. Tertegun ketika mendapatl tv masih menyala di depan Imran yang sudah pulas di sofa.

"Hei, bangun. Ayo pindah ke kamar," ucap Toha sambil menepuk pelan bahu Imran yang tidur merosot di punggung sofa.

Imran mengerjap bingung, lantas menggeleng begitu sadar dia baru saja ketiduran. "Lebih enak di sini, Toha. Lagipula aku tidak bisa tidur tenang di kamar. Kalau tidur seranjang dengan kalian, aku takut akan, kau tahu? Melukai Nisa tanpa sadar."

Toha menghela napas panjang dan mengangguk paham. "Aku ambil dulu bantal dan selimut di kamar.."

Imran segera mengambil bantal dan selimut begitu Toha kembali ke ruang tamu dan mencekal tangan pemuda itu ketika hendak pergi.

Toha tersentak kala sadar betapa dia merindukan sentuhan hangat genggaman tangan pria itu. Dia sudah lupa kapan kali terakhir merasakan gelenyar lembut itu setiap kulit mereka bertemu.

"Y-yeah?" gagap Toha dengan suara serak sambil menoleh menatap pria itu. "K-kau butuh ... apa lagi?"

Imran menggeleng dengan sorot mata teduh. "Terima kasih sudah membantuku mengasuh Nisa."

Darah Toha berdesir begitu merasakan usapan lembut jempol Imran di punggung tangan, Meski tampak sepele, namun malam itu Toha merasa menjadi orang paling istimewa di hidup pria itu.

"S-senang bisa membantu," sahut Toha sambil mengurai lepas jemari Imran ketika sengatan panas itu mulai terasa membakar. "A-aku harus kembali ke kamar."

"Nisa masih tidur," balas Imran sambil melirik celah pintu kamar yang sedikit terbuka. "Kita bisa mengobrol sebentar di sini."

"T-tapi ... kau harus bekerja besok. Kau butuh istirahat, oke?"

"Sepuluh menit?" bujuk Imran mencoba menawar.

Toha tergelak, meski terdengar gugup. "Aku lelah, Imran."

Imran mengedik bahu, mengalah. "Oke, semoga mimpi indah."

Toha mengangguk. "Jangan lupa pasang alarm."

Malam itu, Toha tidur meringkuk ke leher bayi mungil mereka dengan senyum merekah lebar dan bangun saat mulai fajar menyingsing di ufuk timur.

Menyiapkan sarapan setelah membasuh muka dan menyetrika kemeja Imran ketika pria itu sedang mandi.

"Aku baru mengecek surel dan ada tawaran untuk mengajar di--"

"Batalkan," tukas Imran sambil mengoles selai kacang ke roti bakar agak gosong, tanpa mendongak.

"Aku hanya ingin membantu, oke?"

"Kau sudah sangat membantu dengan tetap berada di rumah; mengasuh Nisa," tegas Imran mutlak.

"Tapi, aku bu--"

"Percaya padaku, Toha. Aku berjanji akan memenuhi segala kebutuhan hidup kalian," potong Imran sambil menatap tajam ke seberang meja. "Bisa, kan?"

Toha mengedik bahu. "Yeah, oke. Lakukan saja semaumu. Aku sudah tidak akan peduli lagi dengan masalah tagihan uang sewa rumah kita."

Imran menggeram. "Biar aku yang bicara dengan mereka sepulang kerja nanti. Kau tenang saja, oke?"

"Oh, sial. Aku sudah telat," umpat Imran saat melirik arloji. Mengusap sudut bibir dengan kain lap, mengambil tas kerja dan beranjak keluar.

Toha sedang mengendong sambil menyuapi bubur ke mulut bayi mungil mereka ketika Imran kembali ke beranda rumah sederhana mereka. "Ada yang ketinggalan?"

Imran tersenyum sambil mendekat dan sesaat, Toha mengira pria itu akan mencium bibirnya. Namun tebakan itu meleset begitu kepala Imran merunduk dan mengecup pipi Nisa.

"Jaga anak kita, Toha," pinta Imran sambil meremas pelan lengan Toha. "Aku berangkat dulu."

Toha mengangguk patuh, meski harus menelan rasa kecewa. "Segera pulang sebelum makan malam."

"Pasti. Aku tak sabar mencicipi masakan gosongmu malam ini."

"Aku tunggu," sahut Toha sambil melambai dan beranjak masuk begitu motor pria itu sudah membelok di ujung jalan. Senyum Toha memudar saat melihat bingkai foto Dania di meja kecil sudut sofa.

Tanpa pikir panjang, Toha segera menyambar foto itu dan menaruhnya menghadap ke bawah; melega ketika gambar sosok itu lenyap dari pandangan. Berharap semoga tidak akan pernah kembali muncul ke dalam kehidupan mereka dan merebut Imran dari sisinya.[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang