(42)

2.6K 165 9
                                    


Bangunan dua lantai di kawasan perumahan baru itu merupakan kado pernikahan dari Pak Harso sebagai langkah awal dalam menapaki hidup baru sepulang mereka dari acara bulan madu.

Pada hari itu pula Dania segera mengemas barang dan pindah ke rumah baru itu. "Dania bakal kasih kabar begitu sampai, oke?" tukas Dania sambil memutar bola mata begitu Bu Darla mulai mencerocos soal beragam pantangan sebagai seorang istri dan calon ibu.

"Kenapa harus pindah, sih? Mama pasti nggak bakal bisa tidur nyenyak karena terus mencemaskanmu," keluh Bu Darla sambil mengamati Dania membongkar lemari dan memilah baju mana saja yang akan dibawa pergi.. "Mama pasti kesepian kalau nggak ada kamu di sini."

Dania sibuk melipat baju dan menata rapi di dalam koper. "Masih ada Papa, kan?"

"Tahu sendiri Papamu; kalau sudah sibuk di kantor sampai lupa waktu," sahut Bu Darla dengan nada ketus. "Apalagi kalau ada rapat; bisa pulang sampal larut malam."

Dania mendesah bosan. "Kenapa Mama nggak coba cari kesibukan baru? Semisal berkebun atau membaca buku, mungkin? Dania sudah capek ambil peran sebagai putri kecil kesayangan Mama."

Bu Darla mengedik bahu, mengedar mata ke sekitar dan sadar saat menemukan perubahan dalam kamar itu; putri kecilnya sudah menjelma menjadi sosok wanita mandiri dan dewasa.

Bu Darla mengembus napas berat. "Berapa lama lagi ... kamu akan pergi?"

"Sepuluh menit, barangkali?" sahut Dania sambil melirik arloji dan mengedik bahu malas. "Tinggal melipat dua setel lagi dan Dania akan pergi dari rumah ini."

Bulir air bening mengenang di sudut mata sendu itu melepas kepergian Dania Meski sudah berumur, Bu Darla masih tampak menawan dengan postur semampai.

Jelas kecantikan Dania menurun dari gen wanita anggun itu. "Jangan sentimen begitu, oke? Dania cuma mau pindahan, bukan gantung diri. Kita masih bisa ketemu lagi, Ma."

Bu Darla mengangguk dan mengusap kasar pelupuk mata. "Mama akan bantu mengangkut koper ini turun."

Sementara di lantai bawah, Toha dengan serius segala petuah dari Pak Harso dan meragu saat lelaki paruh baya dengan perawakan bugar itu mengulurkan anak kunci mobil bersama serenceng kunci lain.

"N-nggak usah, Om," tolak Toha sambil menggeleng.

"Papa," ralat Pak Harso ramah sambil melesakkan rencengan kunci itu ke genggaman Toha. "Panggil aku papa, Toha. Kau menantuku sekarang."

Merunduk saat Pak Harso mengacak gemas rambut kepala Toha. Merasa bersalah telah membohongi lelaki tua baik hati itu sambil menatap rencengan kunci di telapak tangan; terasa dingin dan berat. "Terima kasih ... Papa."

"Kau tahu, Toha? Sejak dulu aku selalu kalah taruhan dari mereka," sahut Pak Harso sambil melirik ke atas, memberi isyarat siapa 'mereka' yang dia maksud. "Tapi kini ada peluang menang karena sekarang aku punya sekutu."

Mengedik bahu ketika lengan lelaki itu merangkul leher dan kembali mengacak rambut Toha sambil membisikkan rencana penuh konspirasi untuk membalas kekalahan.

Pak Harso segera melepas rangkulan begitu mendengar tapakan kaki menuruni anak tangga. "Simpan rahasia kita, oke?" bisik Pak Harso sambil menepuk pelan bahu Toha dan segera mengambil koper dari tangan istrinya begitu tiba di lantai bawah.

Toha tersenyum canggung saat mendapati tatapan tajam Bu Darla. "A-ada yang bisa saya bantu?"

"kemudikan mobil dengan benar; patuhi rambu lalu-lintas dan jangan mengebut di tengah jalan," pesan Bu Darla tegas sambil membuang muka.

Dania memutar bola mata sambil mengedik bahu dengan seulas senyum masam di belakang wanita tua itu. "Semoga Papa nggak bikin kamu repot."

"Dia ... pria yang baik," sahut Toha sambil mengikuti Dania menuju beranda di mana Pak Harso sedang menaruh koper di bagasi mobil biru mengilap di pekarangan.

"Kalian butuh bantuan berbenah di sana?" tanya Pak Harso berbalik ke arah beranda. "Kebetulan Papa sedang libur hari ini dan nggak ada kesibukan lain."

Toha menoleh ke Dania yang segera menggeleng tegas. "Papa di rumah saja. Kami bisa menata barang sendiri."

Toha merasa serba salah saat bersapa dengan tatapan sayu lelaki tua itu. "Dania benar. Kami tidak bisa terus bergantung pada ... kalian berdua," sambung Toha sambil melirik Bu Darla berdiri tegak di samping Dania.

"Yakin nggak ada yang ketinggalan?" tanya Bu Darla begitu Dania hendak beranjak dari beranda.. "Bagaimana dengan kotak obat? Sudah kamu taruh di bagasi?"

"Semua tersimpan aman di sini," sahut Dania cepat sambil mengangkat ransel ukuran kecil.

"Mama cuma takut kamu lupa," jelas Bu Darla sambil mengangguk lega. "Bakal repot nanti kalau kamu mabuk darat."

Dania memutar bola mata. "Kantong plastik banyak, Ma. Dania boleh pergi sekarang?" tanya Dania dan mengerang saat tenggelam dalam pelukan erat ibunya.

Dania segera naik ke mobil setelah pamit dengan kedua orang tuanya dan menurunkan lambaian tangan begitu mereka mulai menghilang di kejauhan.

"Bangunkan kalau sudah sampai tujuan. Aku mau tidur bentar, oke?" pinta Dania sambil meringkuk mencari posisi paling nyaman di jok penumpang depan.

Toha mengangguk tanpa menoleh, fokus menatap jalan beraspal sedikit basah tersiram hujan semalam. Memantulkan pendar suram lampu yang membaris rapi di pinggir jalan.

Dania membuka mata kala merasakan tepukan lembut di pipi. Membeliak begitu mendapati Imran berdiri separuh membungkuk ke dalam dengan sebelah lengan bersangga ke atas pintu mobil. Menahan daun pintu agar tetap terbuka.

Toha kontan mengedik bahu ketika mendapati lirikan geram Dania. "Kupikir, semakin banyak tangan; pekerjaan akan lebih cepat selesai."

"Omong kosong ... tahu begini, aku biarkan saja papa mengantar kita kemari," sesal Dania sambil beranjak turun dan berderap ke bagian belakang mobil dan membuka ruang bagasi.

"Biar aku saja," tawar Imran sambil menyambar besi pegangan koper lebih dulu dari Dania. "Ibu hamil nggak boleh kecapekan."

Dania melengos dan merebut ransel berisi kotak obat dari tangan Toha. Memimpin jalan menuju rumah berlantai dua itu. "Mana kunci?" pinta Dania sambil menadah tangan tanpa menoleh ke arah Toha.

Toha mengedik bahu dan menyerahkan serenceng anak kunci ke Dania. "Sori, Dania. A-aku--"

"Tak apa, Toha. Aku mengerti," tukas Dania sambil menggerutu saat tidak bisa menemukan kunci untuk pintu ruang tamu. "Ya, tuhan ... aku pasti gila kalau harus mengingat setiap anak kunci terkutuk ini."

Tanpa sepatah kata, Toha merenggut kunci itu dari jemari Dania, mengetuk label di setiap anak kunci dan menaruh kembali kunci itu ke telapak gadis itu.

Dania memutar bola mata. "Oh, hebat sekali. Aku merasa bodoh di sini," ucap Dania sambil memutar kunci, segera melangkah masuk begitu daun pintu berayun membuka.

Di lantai bawah ada tiga petak ruang; ruang tamu, kamar tamu dan dapur beserta kamar mandi di bagian belakang. Lengkap dengan kamar tidur utama bersebelahan dengan ruang kosong di lantai atas.

"Kamar bayi," cetus Imran begitu mereka tiba di ruang kosong itu. "Calon papa mertuaku memang pintar sekali memilih rumah masa depan kita."

Dania mendengus sinis. "Yeah, masa depan tanpa ada kau di sana; hanya aku, Toha dan bayi kita."

"Tidak akan ada masa depan tanpa ada aku di antara kalian," ralat Imran kembali menutup pintu ruang kosong itu.

"Kau tidak ... pulang?" tanya Dania begitu melihat Imran masih berdiri di depan pintu kamar tidur utama.

"Di sini rumahku."

"Oke, kau boleh menginap di sini. Tapi, kau harus tidur di kamar tamu," sahut Dania sambil melenguh napas lelah.

"Bersama Toha?"

Bahu Toha kontan menegap, menggeleng pelan kala bertemu gerlingan sinis di sudut mata Dania.

"Yeah, kalian bisa tidur seranjang di sana," putus Dania sambil membanting pintu meninggalkan Toha di luar kamar bersama Imran.

Imran mengedik bahu dan segera menoleh menatap Toha yang berdiri gamang di sebelahnya. "Kau mau tidur sekarang?"[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang