(39)

2.6K 185 15
                                    


Malam itu, Toha segera menelepon Imran setelah berdebat selama lebih dari sejam dengan Dania.. "Datang ke rumah Dania sekarang. Ada yang perlu kita semua bicarakan," pinta Toha setelah membalas salam pria itu. "Sesuatu yang penting dan ... mendesak."

"Nggak ada yang menginginkan kehadiran janin ini," ucap Dania begitu Toha memutus sambungan telepon dan mulal mondar-mandir di kamar gadis itu. "Begitu pun kau, Toha."

"Tidak cukupkah dengan meremukkan hatiku?" balas Toha sarat nada kecewa. "Dan sekarang kau ingin membunuh janin tak berdosa itu?"

Dania mengedik bahu dan mengedar mata ke sekitar dengan gusar. "Aku tulus membantumu dan kau dengan tidak tahu terima kasih malah mengataiku. Tidakkah kau sadar? Ucapan kasarmu sudah melukai perasaanku."

"Yeah, terus salahkan aku," dengus Toha tak percaya dengan tuduhan yang melimpahkan segala kesalahan ke padanya. "Aku tidak akan marah kalau kau tidak merebut Imran dariku."

"Aku tidak pernah merebut cowok brengsek itu, oke?" desis Dania dengan nada penuh penekanan. "Dia yang memilihku, Toha."

"Cukup, Dania. Dia sudah datang," sahut Toha sambil mengangkat sebelah tangan dan mengintip keluar jendela saat mendengar derum motor di bawah sana.

Tak lama kemudian, terdengar suara Darla dari balik pintu kamar Dania. "Ada Imran di bawah, kau ingin Mama usir keluar?"

"Nggak apa, Ma. Suruh aja dia masuk," sahut Dania dengan nada malas dan muka cemberut.

Toha segera duduk di tepi kaki ranjang begitu Imran masuk sambil menenteng sekantong penuh buah segar. "Bagaimana keadaanmu, Dania? Masih sakit?" tanya Imran sambil menaruh punggung tangan di kening Dania, memeriksa suhu tubuh gadis itu.

"Jangan sentuh aku, Brengsek," umpat Dania sambil menepis tangan Imran dari kening dan membuang muka kesal.

Toha mengedik bahu ketika mendapati lirikan bingung Imran. "Dania hamil," sahut Toha tanpa pikir panjang.

"Dan kami berencana ke klinik aborsi," sambung Dania sambil mendelik menatap Toha.

"Dania hamil ... anakku?"

"Kalian tidur bersama di kamar hotel dua pekan lalu," sahut Toha seakan berusaha membantu bocah pelupa mengingat sesuatu.

"Brengsek, kenapa aku harus tidur denganmu?"

"Aku melihatmu di kelab malam; sendirian dan kesepian," sahut Imran sambil menaruh kantong buah ke meja nakas dan menarik kursi belajar Dania bergeser ke depan gadis itu. "Kau tampak depresi malam itu. Aku hanya berusaha menghiburmu agar bisa melupakan masalahmu."

"Dengan cara meniduriku?"

"Dan tanpa pengaman?" sambung Toha heran dengan tindakan ceroboh pria itu. "Demi Tuhan, Imran. Kau mahasiswa kedokteran, bukan dukun peranakan. Kau serius tidak tahu fungsi dari kontrasepsi?"

Imran mendesah kalah sambil melirik Dania membekap mulut menahan gelak yang menggelitik rongga mulut. "Aku sedang mabuk malam itu, oke? Aku tidak begitu sadar saat mengajak Dania menginap di kamar hotel."

Toha kontan memutar bola mata. "Yeah ... kau mabuk berat malam itu, tapi masih cukup sadar agar pentunganmu tidak salah masuk lobang."

Gelak mengudara dari mulut Dania begitu mendengar sindiran itu. Berguling di ranjang sambil memukul pelan kasur dengan kepalan tangan.

"Tutup mulutmu, Dania. Aku sedang tidak melucu," geram Toha sambil meraih boneka panda di dekat kaki ranjang dan melemparkan ke arah Dania.

Namun lengan Imran cukup gesit menangkap boneka itu sebelum sempat sampai tujuan. "Oke, sudah cukup kita bahas soal pengaman," pungkas Imran sambil menaruh boneka ke meja nakas dan mengambil sebutir apel, membelahnya dengan pisau lipat di gantungan kontak motor.

Dania menggeleng begitu Imran mengulurkan sepotong apel ke depan mulutnya sambil melirik ke Toha yang segera membuang muka ke arah lain. "Aku bisa ambil sendiri. Kau mau apel, Toha?"

Toha menggeleng. "Nggak ada pisang cokelat?"

Dania pun kembali tergelak dan tanpa terasa malam sudah beranjak larut. Toha segera pamit pulang meski Imran masih ingin terus bercakap.

"Sudah lama Mama menerapkan aturan jam malam. Lewat dari jam sepuluh kalian harus segera pulang," jelas Dania begitu melihat jarum jam beker sudah mendekati angka sepuluh. "Anak cewek saja dilarang menginap, apalagi dua cowok? Mama pasti langsung mengamuk."

Imran mengangguk ketika menangkap nada mengusir dalam suara Dania saat dia menolak saran Toha untuk segera pulang. "Jaga selalu kesehatanmu, Dania. makan teratur dan istirahatlah yang cukup," pesan Imran saat Dania mendorong punggungnya menuju pintu. "Telepon saja kalau kau butuh--"

"Kau akan antar Toha pulang, kan?" tanya Dania saat mereka sudah berada di luar pintu kamar.

Imran mengedik bahu, "Rumah kami searah."

Dania mengangguk senang. "Bagus. Kalian bisa boncengan dan pulang bareng."

Toha mengangkat sebelah tangan membalas lambaian tangan Dania. Mengamati dengan gugup ketika Imran datang mendekat, merunduk saat pria itu melintas di depan dan segera menuruni tangga ke lantai dasar.

"Sori ... soal pengaman tadi. A-aku tidak bermaksud--"

"Kau benar, Toha. Bukan karena mabuk, tapi sengaja," aku Imran terus menapaki anak tangga. "Kau akan sulit bersaing kalau tidak punya kartu truf di saat terakhir dan janin dalam kandungan itu merupakan investasiku agar bisa memiliki Dania."

Langkah Toha melamban sebelum berhenti di tengah undakan tangga itu. "Bagaimana kalau Dania ... mengugurkan benihmu?"

"Tidak akan, Toha." Imran mendadak berhenti di anak tangga terakhir, berbalik dan mendongak menatap Toha yang masih mematung di tengah tangga. "Karena kau akan membantuku mengubah pendirian gadis itu."

Meski tahu rencana Imran salah. Namun Toha sadar pria itu benar dan jauh dilubuk hati, dia pun tahu Dania beranggapan sama; janin itu merupakan tali penghubung di antara mereka bertiga.[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang