Toha sedang menonton siaran pertandingan sepak bola skala regional sambil mengudap sepiring kacang rebus. Metode jitu untuk bebas mengumpat tanpa perlu merasa bersalah ketika ada satu pemain gagal mencetak gol.Toha menoleh ke pintu ruang tamu saat bunyi putaran kunci menggema. Menyusul sosok Nisa yang melenggang masuk setelah mengetuk pintu dan mengucap salam sambil menenteng tas kertas lipat di satu tangan.
"Habis belanja baju?" tanya Toha sambil melirik sekilas logo brand busana terkenal di tas kertas itu.
"Nisa butuh setelan baru untuk acara kencan sabtu besok," jelas Nisa sambil mengempas diri ke sofa panjang sebelah ayahnya. "Nisa ingin tampil memukau di depan Mas Barga, Pa."
Sejak berpacaran dengan Barga, penampilan Nisa mengalami cukup banyak perubahan dari segi gaya berpakaian. Bahkan dia mulai pandai merias diri dengan beragam kosmetik yang dulu jarang memulas muka. Begitu pun sepasang kontak lens menggantikan peran kacamata yang dulu setia bertengger di daun telinga.
Toha mengedik bahu. "Kamu senang?"
Nisa mengangguk antusias sambil mengigit bantalan sofa untuk meredam pekikan bahagia. "Lebih dari senang. Nisa sampai nggak sabar menanti hari esok, Pa!"
Toha bergeser miring menghadap Nisa sambil menumpukan sebelah lengan ke sandaran sofa dan memangku kepala dengan telapak tangan. "Kamu benaran mencintai ... Barga?"
Nisa lekas membekap muka dengan bantalan sofa, meski Toha sempat menangkap semburat rona di pipi gadis itu. Kemudian mengangguk pelan.
Oh ... betapa malang dirimu, Nak.
Jemari Toha mengepal begitu sadar hubungan mereka merupakan bagian dari rencana busuk Barga agar leluasa mendekat dengan hati Nisa sebagai jaminan.
Toha merasa sedang berjalan di atas kulit telur. Begitu rapuh dan mudah pecah seperti hati Nisa sekali saja dia salah melangkah dalam membaca siasat tersembunyi Barga.
Brengsek ... pengecut sekali kau, Barga!
"Ada apa ... Pa?" panggil Nisa dengan tatapan penuh tanda tanya begitu mendengar geraman Toha.
Toha lekas menggeleng. "Bagaimana dengan Barga? Apa dia bisa bikin kamu bahagia?" korek Toha penasaran akan sosok lelaki itu di mata Nisa.
"Meski harus menjalani hidup susah, Nisa akan selalu bahagia selama bisa terus bersama Mas Barga," sahut Nisa mantap sambil mengenggam erat tangan Toha. "Percaya dengan pilihan hati Nisa, Pa."
Toha mengumpat pelan tanpa sadar sambil mengedar mata ke sekitar. Tidak kuasa menatap ketulusan dan keteguhan hati di mata Nisa.
"Jangan naif, Nis. Lelaki tampan cenderung tidak mudah dipercaya dalam membina hubungan jangka panjang. Apalagi memaku hati pada satu pasangan."
"Tapi tidak dengan Mas Barga," bantah Nisa akan makna tersirat dalam ucapan Toha. "Dia beda dengan lelaki bajingan di luar sana."
"Bagaimana kamu bisa yakin kalau dia bukan salah satu dari mereka?"
"K-karena Nisa pacar pertama Mas Barga, Pa!"
"Dari mana kamu tahu itu? Bisa saja dia sudah menipumu."
Nisa mengedik bahu. "Yeah, bukan pula lelaki menyedihkan seperti papa yang masih trauma dengan cinta sejak kematian mama."
"Masih lebih baik dari gadis delusional sepertimu," dengus Toha sambil tersenyum geli. "Oh ... ayolah, Nis. Berpikir realistis. Pangeran tampan dan baik hati hanya ada dalam novel picisan yang banyak berjejalan di rak bukumu itu."
Senyum Toha memudar kala melihat air mata membasahi pipi Nisa. "Nis ...?"
"Cukup, Pa! Berhenti mencela Mas Barga!" tukas Nisa sambil menangkup telinga dengan kedua tapak tangan.
Refleks Toha merengkuh Nisa dalam pelukan. "Sudah larut. Pergilah tidur," bisik Toha sambil mengusap lembut punggung Nisa.
Nisa mengangguk. "Selamat tidur, Pa."
"Mimpi indah, Sayang," gumam Toha sambil mengecup kening Nisa.
Toha sudah menyusun rencana untuk keluar dari perangkap cinta semu Barga dengan Nisa sebagai boneka perantara. Kalau tidak bisa memutus hubungan, kenapa tidak mengikat mereka dalam ikatan janji suci pernikahan.
Ya, Toha akan menemui keluarga Barga untuk membahas tanggal pernikahan anak mereka.[]
