(30)

4.1K 234 34
                                    


Sudah lebih dari sepuluh kali Nisa memeriksa pantulan riasan muka di cermin bundar mungil di bagian dalam tangkup cawan bedak, memastikan polesan lipstik tidak melenceng dari garis bibir tipisnya.

Nisa ingin selalu tampil menawan setiap berada di depan Barga. Dia tahu bahwa lelaki itu makhluk visual, mereka lebih mudah bereaksi dengan segala bentuk keindahan. Baik bersifat artistik maupun sensual.

Nisa sudah tiba di kafe itu setengah jam lebih awal dari janji temu mereka. Tidak ingin merusak acara kencan atau sekadar makan malam biasa mereka dengan datang terlambat.

Meski jarum panjang sudah melewati angka tujuh lima belas menit lalu, sosok Barga tidak kunjung muncul dari balik pintu kaca dengan lonceng bergelantung di sudut atas kosen pintu yang berdenting setiap ada tamu.

Merogoh ponsel dari dalam tas tangan, memeriksa notif pesan atau panggilan masuk dari nomor kontak Barga. Barangkali ... kejebak macet di jalan?

Sudah dua kali pelayan datang menanyakan pesanan dan merasa bodoh duduk sendirian di sana bersama belasan sepasang kekasih saling merajut cinta serta melepas rindu setelah sepekan tidak bertemu.

Denting lonceng menggiring mata Nisa kembali memaku ke pintu. Senyum merekah di bibir melihat Barga muncul dari balik kaca bening tebal itu dan bergegas membelah barisan kursi kafe dengan langkah lebar dan mantap.

"Sori, telat. Aku habis menemani Bibi belanja," jelas Barga begitu tiba di depan meja Nisa. "Sudah lama di sini?"

"Baru sampai, kok," dusta Nisa sambil menggeleng. "Ada apa? Tumben ngajak ketemuan."

Binar penuh harap menelisip ke mata Nisa kala tangan Barga merogoh saku celana. Meredup begitu melihat remasan secarik kertas dalam genggaman jemari lelaki itu. Sempat mengira Barga akan memberi kado kejutan untuk kencan pertama mereka setelah batal sabtu silam. Semacam kalung atau cincin permata imitasi, mungkin?

"Kau kenal pria itu?" tanya Barga setelah membentang sobekan kertas itu di atas meja sambil menarik kursi di seberang Nisa.

Nisa menatap sekilas paras seorang pria di kertas lecek itu. Meski lebih fokus melirik Barga yang kini duduk di seberang meja sambil mengetuk meja dengan rahang mengetat dan sorot mengintimidasi.

Barga mengembus napas kecewa saat melihat gadis itu perlahan menggeleng. "Coba ingat baik-baik. Kau pasti tahu sesuatu, Nis. Dia pernah bersamamu ... dulu."

"Kamu lapar?" tanya Nisa sambil mendongak dari kertas itu. "Kita bisa mengobrol sambil makan."

"Aku sudah makan malam tadi di rumah," sahut Barga sambil meraih buku menu dan membaca sekilas daftar menu beserta harga per porsi di sana. "Mau pesan apa?"

"Kamu ... nggak makan?"

Barga mengedik bahu. "Masih kenyang."

Bahu Nisa kontan merosot lesu. Mungkin benar, adegan makan malam romantis dengan pasangan sambil saling kasih suapan hanya ada dalam novel picisan.

"Jangan telat makan, Nis. Kamu bisa sakit nanti. Bisa kena omelan papamu kalau aku nggak mengurusmu dengan baik," kata Barga sambil memanggil pelayan setelah Nisa memilih pesanan.

"Aku bukan bocah lugu, oke?" debat Nisa dengan petuah Barga. Lebih terdengar seperti nasihat orang tua kepada anak mereka daripada sikap peduli seorang pacar.

"Kau ingat ... sesuatu?" ulang Barga begitu menangkap sentakan halus bahu Nisa dan sorot kaget di mata gadis itu.

Nisa mengangguk mantap. "Dia seorang dokter ortopedi. Aku baru bertemu dia sekali saat menemani papa terapi tulang sendi. Kalau nggak salah namanya ... Herman atau ilh--"

"Imran," ralat Barga dengan nada tajam. "Kau serius tidak ingat siapa pria itu selain seorang dokter terapis papamu?  Kalian pernah tinggal serumah saat umurmu lima tahun."

"Aku sudah berusaha, oke? Daya ingatku memang payah. Nama teman sekelas saja masih sering salah sebut apalagi mengingat peristiwa saat masih balita?" dalih Nisa sambil menekuk muka masam.

Barga bersandar ke punggung kursi saat pelayan datang mengantar pesanan. "Oke ... tapi kau masih ingat kan, alamat praktik dokter Imran?"

Nisa segera menyambar selembar tisu dan menulis alamat itu di sana dengan pensil alis. "Aku kurang tahu, apa dia buka praktik setiap hari atau hanya di hari tertentu. Papa selalu konsultasi pada hari Rabu di pekan pertama setiap awal bulan."

Segera mengambil lembaran tisu itu dan dilipat menjadi empat bagian sebelum menyelipkan ke dompet kedap air. "Terimakasih atas bantuanmu, Nis."

Nisa tertegun melihat Barga bangkit berdiri dan menaruh tiga lembar uang kertas merah ke meja. "Mau ke mana?"  tanya Nisa sambil mencekal tangan Barga ketika hendak beranjak pergi.

"Jangan mengangguku, Nis. Aku sibuk malam ini," sahut Barga sambil menatap geram ke cengkeraman kuku Nisa.

"Kita belum selesai di sini, Barga."

"Habiskan makanmu dan lekas pulang. Toha pasti akan cemas kalau kau pulang larut malam," pinta Barga sambil menepis tangan Nisa.

Pandangan Nisa memburam kala melihat motor Barga meluncur keluar dari pelantaran parkir kafe dan hilang ditelan gulita malam.[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang