(38)

2.7K 198 22
                                    


Kabar soal penembakan di alun-alun kota sabtu lalu menjadi trending topic selama seminggu penuh. Berita seputar kehidupan Dania tak pernah luput dari liputan gosip. Meski Imran tidak berusaha menampik kebenaran kabar itu atau fakta kalau Dania masih menggantung harapan pria itu.

Pagi itu Dania menerabas masuk ke kelas Toha setelah seminggu pemuda itu tidak membalas pesan maupun mengangkat telepon darinya. "Kenapa tidak ke perpustakaan? Aku menunggumu di sana," kata Dania begitu tiba di sebelah meja pojok paling belakang dekat jendela. "Kau berusaha menghindariku?"

Namun tidak ada tanggapan dari Toha. Memilih terus bersandar ke jendela sambil memejam mata dengan sepasang headset menancap ke telinga. Menangkal segala bentuk gangguan suara di dalam ruang kelas.

Dengan geram Dania mencabut headset dari telinga Toha. "Berapa kali harus kubilang padamu; semua ini hanya salah paham! Dia mengira aku yang menulis pesan ... rahasiamu."

Toha mendengus muak. "Kalau begitu, kenapa kau tidak menolak pria itu?"

Dania merunduk lesu. "Karena kalau aku menolak, dia akan menjauh darimu."

"Jangan libatkan aku dalam permainan kotormu," desis Toha sambil merebut kembali headset dari tangan Dania.

"Dia ... straight, Toha."

"Bukan urusanku,." sahut Toha sambil membuang muka dan menatap keluar jendela.

"A-aku berusaha membantu. Kupikir, dia akan membalas cintamu kalau kalian sering bertemu," jelas Dania sambil menggigit bibir agar tidak bergetar dan tampak rapuh di depan Toha.

"Berhenti belagak pahlawan di depanku, Dania. Kau tidak lebih buruk dari para penjilat itu; berteman hanya untuk mengambil keuntungan dariku."

Dania tertegun, sadar akan kebenaran itu. "A-aku hanya--"

"Cukup, Dania. Aku sudah muak berteman dengan jalang sepertimu," tukas Toha sambil menyandang ransel ke bahu dan keluar dari ruang kelas itu.

Dania mendongak sambil mengerjap mata cepat. Menahan genangan air yang terasa membakar pelupuk. Mengatur napas kala sebongkah rasa bersalah menyumbat kerongkongan.

Sejak kunjungan pagi itu, Toha tidak pernah bertemu Dania. Baik di kantin saat jam makan siang maupun di perpustakaan ketika sibuk mencari bahan referensi untuk penulisan skripsi. Gadis itu bagai hilang ditelan bumi.

Sampai pekan ketiga setelah insiden penembakan di alun-alun kota dan pekan kedua sejak kunjungan terakhir Dania ke kelas Toha, Imran mendadak duduk di seberang meja Toha saat sedang makan siang di kantin.

Meski luka hati belum pulih, namun getaran itu masih ada setiap kali Toha berada di dekat pria itu.

"Toha?" tanya Imran memastikan tak salah orang.

"Tumben makan di kantin," sahut Toha sambil mengangguk dan berusaha menjaga debaran jantung tetap stabil ketika sadar pria yang duduk di seberang sana bukan sekadar bayangan semu.

Toha tldak menyangka, bisa begitu dekat dengan Imran. Hanya dengan uluran tangan, dia bisa menyentuh sosok yang selama ini menjadi fantasi liarnya.

"Imran,," ucap Imran mengenalkan diri sambil mengulur lengan yang segera bersambut jabatan hangat dari tangan Toha.

Tertegun ketika mendapatl betapa hangat dan kuat genggaman pria itu. "Muhammad Imran Alfatih?" ulang Toha otomatis seakan nama itu sudah terekam kuat di alam bawah sadar.

"Yeah, lengkap sekali."

Toha mengedik bahu, "Aku tahu dari Dania."

Binar mata Imran meredup. "Itu pula alasanku datang kemari. Maksudku, duduk di sini ... bersamamu."

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang