Rumah itu punya satu toilet sempit dan memanjang di dapur dengan fasilitas bak berendam air hangat serta pancuran elektrik dan selembar gorden tipis sebagai sekat pemisah. Di sudut sebelah kanan ruangan, ada kloset duduk dan wastafel mungil dengan kabinet bercermin buram di bagian atas.Toha segera memutar keran wastafel dan mencuci tangan di bawah guyuran air keran. Mengikis cairan lengket yang masih menempel di tapak tangan.
Toha tersentak ketika mendapati Bi Lasmi masih menunggu di depan pintu begitu keluar dari toilet.
"Butuh baju ganti?" tanya Bi Lasmi sambil mengelap tangan dengan sapu tangan. "Kenapa tidak sekalian mandi saja?"
"N-nggak usah, Bi. Pakaianku masih bersih, kok. Cairan lengket itu bukan... " sahut Toha berusaha menjelaskan asal cairan sialan yang menimbulkan beda tafsir di antara mereka.
Sebelah alis Bi Lasmi terangkat sinis dengan senyum jenaka mengulas bibir. "Kau tidak harus menjelaskan ke Bibi kalau malu."
Toha mengembus napas lega. "Bisa kita kembali ke ruang tamu? Ada beberapa hal penting yang harus segera kita rembukan."
"Yeah, semakin cepat akan lebih baik," sahut Bi Lasmi setuju sambil memimpin jalan menuju ruang tamu.
"Kalau boleh tahu, ke mana kedua orang tua Barga? Kenapa Barga bisa tinggal bersama Bibi? Apa mereka--oh, maaf. Aku tak bermaksud... "
Bi Lasmi lekas menggeleng pelan sambil tersenyum lemah. "Tak apa, Manis. Kau ingin bertemu mereka?"
"Kedua orang tua Barga?"
"Yeah, tentu saja. Masih ada cukup waktu sebelum hari gelap kalau kita bergegas ke sana," sahut Bi Lasmi sambil melempar mata ke luar jendela. Langit senja tampak memudar di ufuk barat.
"Kalau Bibi tidak keberatan, kita bisa pergi sekarang," balas Toha cergas. Enggan membuang kesempatan untuk mengorek masa lalu Barga. Barangkali dengan bertemu mereka, dia bisa bebas dari belenggu cinta posesif Barga. "Di mana rumah mereka? Apakah ada di dekat sini?"
"Pemakaman."
Toha mendongak dengan kedua alis bertaut. "Pema--apa tadi?"
Bi Lasmi mengangguk lemah seakan bisa membaca keraguan di mata Toha. Begitu pun wanita tua itu yang masih belum bisa menerima fakta bahwa saudari dan abang iparnya sudah lama tiada.
"Mereka tewas dalam kecelakaan tragis dua puluh tahun lalu. Sungguh suatu keajaiban putra tunggal mereka bisa selamat dari insiden mengerikan itu."
Toha mengedik bahu. Kehabisan kata. Lidah berubah kelu dan mendadak, pasokan oksigen terenggut dari rongga dada. "A-aku ... ya, tuhan. Kenapa Barga tidak pernah cerita padaku?"
"Buat apa? Agar kamu merasa kasihan?" tanya Bi Lasmi sambil meremas kuat tangan Toha. "Barga sangat benci tatapan mengiba atas kematian tragis yang sudah merenggut nyawa kedua orang tuanya."
"A-aku..." Toha mengembus napas frustrasi akan sikap hipokrit Barga. Siapa sangka di balik senyum jenaka dan sorot teduh lelaki itu, bersemayam luka yang sudah lama melara. "A-apa boleh ... berziarah ke makam mereka?"[]
