Setelah beberapa kali bertanya ke warga sekitar kawasan itu, motor Toha menepi di depan rumah beratap limas dan bergenting merah gelap. Jendela berangka kayu dengan enam petak kaca berdebu tampak melesak ke dalam tembok bangunan bercat cokelat kusam itu.Toha segera beranjak ke beranda dan mencocokkan nomor rumah dengan alamat dalam sobekan kertas. Hasil dari dua jam mengontak beberapa kenalan guru dari sekolah tempat dulu dia mengajar Barga.
"Barga?"
"Angkatan tahun 2003," jelas Toha melalui sambungan telepon. "Kau ingat? Kurasa, tidak banyak murid dengan nama Barga dalam daftar alumni sekolah kita."
"Sekolah kita?"
Toha memutar bola mata. "Oh, yeah ... dulu. Kau masih mengajar di sana?"
"Tentu, ah betapa manis dia. Aku sempat penasaran dulu, dari mana bocah itu tahu frasa erotis semacam 'lembah selangkangan'? Atau sekadar asal pakai tanpa paham benar muatan makna di dalamnya? Yeah, pasti begitu karena dia menujukan puisi itu padamu."
Toha melirik geram jarum arloji saat mendengar guru itu terus mencerocos. "Jangan ungkit masalah itu. Aku sudah membuang cukup banyak waktu untuk bisa melupakan kejadian memalukan itu."
"Oh, sayang sekali. Kau sudah periksa postingan akun sosmednya? Dia cukup aktif dalam komunitas penggalang dana dan tenaga relawan di gardu penampungan korban daerah rawan bencana."
"Okay ... jadi, kau tahu di mana dia tinggal sekarang?" sela Toha begitu ada kesempatan bicara.
"Alamat rumah Barga? Kenapa tidak bilang dari tadi."
Demi tuhan! "Yeah, sudah lama aku tidak berkunjung ke sana."
"Kau ... menyesal?"
"M-maaf? Bisa ulangi?" pinta Toha sambil mengorek lubang telinga. Dia pasti sudah salah dengar.
"Hmn, tentu. Apa kau menyesal sudah menolak ... Barga? Yeah, meski pun agak tidak etis. Tapi ada segelintir pacar yang meminta balikan setelah mantan pasangan mereka berubah total."
Oh, astaga ... omong kosong macam apa itu? "Oh, kocak sekali kelakarmu, Bung." Toha tertawa tanpa humor. "Dan perlu kutegaskan satu hal; kami tidak pernah pacaran."
"Okay, leluconku memang basi." Ada jeda napas di seberang sana. "Maaf kalau sudah menyinggungmu. Bukan maksudku begitu. Sungguh, percaya padaku."
Toha mengerang pelan. Mulai gerah dengan obrolan mereka yang terasa hanya jalan di tempat. "Berikan saja alamat lengkap rumah Barga padaku."
"Tapi masih ada satu kendala."
Oh, apalagi ini? "Jangan bilang kalau kau sudah lupa."
"Sudah lebih dari lima belas tahun berlalu, Toha. Mana mungkin aku bisa mengingat semua alamat rumah mantan muridku? Jangan sebut aku 'tua bangka pikun sialan' karena kau pun sama sepertiku."
Toha mengedik bahu. "Bisa pergi ke sekolah bentar? Barangkali kau bisa menemukan alamat rumah itu di tumpukan arsip bagian kesiswaan."
"Sekarang? Kenapa tidak senin saja?"
"Ada urusan penting dan mendesak."
Ada gumam gerutuan di seberang sana. "Kau harus ganti uang bensinku."
"Beres, tapi setelah kau berikan alamat rumah itu."
"Hmn, sepakat."
Lamunan Toha buyar begitu pintu rumah itu terbuka. Apa dia sudah mengetuk pintu?
Wanita paruh baya di ambang pintu sebelah dalam mengerjap cepat seakan tidak percaya dengan kehadiran Toha di sana. "Oh, Toha. Kenapa tidak menelepon dulu kalau ingin datang bertamu?"
Toha tertegun. "Anda ... mengenalku?"
Seingat Toha, dia belum pernah bertemu wanita asing itu. Begitu pun kunjungan ke rumah Barga baru kali pertama hari itu saja. Jadi...
"Tentu saja, Manis. Karena kau merupakan calon menantuku. Oh, tidak ... lebih tepat sebagai calon menantu keponakan tunggalku," ralat wanita tua itu dengan nada riang sambil memeluk Toha tanpa ragu seakan mereka sudah bersahabat lama.
"T-tunggu, pasti ada kesalahan di sini," gagap Toha sambil menggeliat resah dalam pelukan wanita itu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan otak wanita tua malang itu.
Wanita tua itu bersedekap sambil menelengkan kepala menatap Toha yang seketika merasa canggung.
"Begini, aku datang kemari hanya ingin membahas soal tanggal pernikah--"
Wanita tua itu mendadak mengangkat tangan. "Jadi, kapan kalian akan menikah? Oh, Barga pasti terkejut mendengar kabar gembira ini."
Pikiran Toha seakan buntu. "K-kalian?"
Wanita tua itu mengangguk mantap dengan binar mata penuh bahagia. "Yeah, tentu saja kau dan Barga. Siapa lagi?"[]
