(50)

3K 168 15
                                    


Hampir lima tahun berselang, namun jalanan menuju rumah Dania tidak mengalami banyak perubahan. Jalan beraspal dengan tepian pagar tanaman membatasi pekarangan depan tiap rumah masih tampak sama di mata Toha.

Meski begitu ketika membelok di tikungan terakhir, Toha hampir tidak mengenali bangunan berlantai dua dengan pekarangan penuh rumput setinggi lutut menghampar sampai ke undakan beranda rumah. Menelan bongkahan batu penyusun jalan setapak yang dulu menjadi pijakan setiap hendak menuju rumah.

Toha masih ingat betul kali pertama ke rumah itu, dia berusaha menjaga keseimbangan setiap meniti batu setapak agar tidak jatuh dan merusak rumput atau kebun bunga Bu Darla. Namun cukup sulit karena tepian bebatuan itu sudah melonggar dan kerap bergoyang di bawah pijakan kaki seperti gigi susu yang hendak tanggal.

"Telepon saja kalau mau pulang," pesan Imran begitu mobil mereka berhenti di depan pagar karatan rumah itu. "Aku akan segera datang menjemput kalian."

"Senang sekali kau masih peduli pada kami, Imran," balas Toha sambil melepas sabuk pengaman. "Tapi, tidak. Kami bisa pulang sendiri."

Imran mengedik bahu, menggeser badan ke kursi sebelah lantas mengecup pipi gembil bocah balita di pangkuan Toha. "Papa pasti bakal kangen berat sama kamu, Nis. Cepat balik, ya," ucap Imran penuh sayang sambil mengusak rambut jarang balita itu.

Toha hanya mengangguk membalas lambaian tangan Imran dan beranjak masuk beriring deritan panjang mengikis keheningan pagi kala engsel besi berputar membuka pagar.

Pintu depan membuka pada dering bel ketiga. "Oh, Toha. Senang sekali melihatmu di sini," sambut Pak Harso saat mendapati Toha berdiri di beranda sambil menggendong Nisa.

"Maaf, baru bisa datang sekarang," sahut Toha sambil mengangguk dalam pelukan hangat lelaki tua itu.

Pak Harso melepas pelukan dengan tepukan pelan di punggung Toha. "Jangan sungkan begitu. Aku sudah sangat berterima kasih dengan kau ada di sini bersama cucuku."

Badan Pak Harso membungkuk agar bisa sejajar dengan bocah balita dalam gendongan Toha. "Wah ...  sudah besar ya, Nisa. Terakhir kali kulihat, dia masih seonggok daging merah dalam buntelan kain."

Toha tergelak mendengar kelakar Pak Harso. "Yeah, Anda benar; kita tidak sadar betapa cepat anak-anak tumbuh dewasa. Sepuluh tahun ke depan, tinggi badan mereka pasti melebihi kita."

Pak Harso mengedik bahu dan mendongak menatap Toha dengan sorot penuh harap. "Boleh ... aku gendong Nisa sebentar?"

"Silakan. Hati-hati, dia suka mencakar kalau sedang marah," sahut Toha membiarkan Pak Harso mengambil Nisa dari gendongan. Lantas tersenyum geli kala balita itu mendadak menangis dalam dekapan lelaki tua itu.

"Nisa gampang takut dengan orang asing," jelas Toha segera mengambil Nisa dari depakan Pak Harso; tampak kelabakan dengan tangisan histeris  balita itu.

Raut cemas lelaki tua itu berangsur melega. "Pantasan. Pasti sangat sulit kalau ingin menculik bocah itu," seloroh Pak Harso mengundang tawa dari mulut Toha.

"Jadi, mama ... bagaimana?" tanya Toha prihatin begitu tawa mereka mereda.

"Masih susah minum obat, mesti dibujuk dulu," sahut Pak Harso dengan nada muram sambil menghela napas berat. "Oh, hampir lupa. Mau minum apa?"

"Kopi. Ada?"

Pak Harso mengangguk. "Oh, yeah. Mau tunggu di mana? Maaf di dalam masih berantakan. Kau tahu, kami ... yeah, begitulah. Masih butuh beradaptasi."

"Aku di sini saja. Maaf merepotkan."

"Berhenti bersikap begitu, Toha. Kita masih satu keluarga, ingat?" tegur Pak Harso sambil mengacak rambut Toha. "Oke, tunggu di sini. Aku segera kembali."

"Terima kasih ... Pa."

Sembari menunggu, Toha duduk di kursi berlengan di beranda depan sambil mengawasi Nisa sedang menyodok perut kucing dengan sebatang ranting kering. Menoleh begitu mendengar tepakan kaki mendekat.

"Sudah ada calon?" tanya Pak Harso setelah menaruh nampan berisi dua cangkir kopi dan sepiring biskuit. "Kau akan tetap jadi menantuku. Begitu pun Nisa selamanya akan menjadi cucu kesayanganku."

"Aku ... tidak akan menikah dengan gadis mana pun," sahut Toha sambil merunduk dan mengenggam erat sisi cangkir kopi.

"Kau masih muda, Toha. Jangan hancurkan masa depanmu dengan terus hidup di masa lalu," balas Pak Harso sambil menepuk bahu Toha.

Toha hendak membantah ketika mendadak jeritan Bu Darla menginterupsi obrolan mereka. "Di mana Nisa?" tanya Toha saat mengedar mata ke sekitar dan tidak menemukan bocah balita mungil itu di beranda.

"Mungkin ... di dalam?" sahut Pak Harso sambil menunjuk daun pintu yang kini terbuka lebar. "Ayo, kita periksa."

Mereka pun segera masuk ke rumah dan menemukan balita itu berada di kamar Bu Darla. Pak Harso lekas duduk di tepi ranjang dan mengguncang bahu wanita tua itu yang terus menjerit histeris.

"Usir bocah setan itu dari kamarku!" pinta Bu Darla sambil melempar gelas di nakas ke arah bocah balita ysng berdiri bingung di depan pintu kamar.

Dengan sigap, Toha merengkuh tubuh mungil dan memutar badan balita itu. Alhasil, gelas itu membentur punggung Toha sebelum jatuh dan pecah di lantai kamar.

"Demi tuhan ... sadar, Ma! Dia cucu perempuan kita," bentak Pak Harso kala jeritan Bu Darla semakin melengking nyaris merobek gendang telinga sambil terus membuang benda apa saja dalam radius jangkauan tangan ke punggung Toha.

"Dia bukan cucu perempuanku, tapi pembunuh putriku!" jerit Bu Darla sambil menunjuk bengis ke punggung Toha; melindungi Nisa dari lemparan wanita tua itu. "Kalau saja bocah terkutuk itu tidak lahir, putriku pasti masih ada di sini."

Toha segera menangkup kedua telinga bocah balita itu saat jeritan Bu Darla berganti serentetan makian kasar nama hewan di kebun binatang. Bocah itu menengadah dan menatap polos ke mata Toha dengan seulas senyum getir begitu setetes air bening jatuh membasahi pipi.

"Eyang ... kenapa, Pa?"

Toha hanya menggeleng, menaruh telunjuk di depan mulut dan mengajak bocah balita itu keluar kamar. "Dengar, Nisa. Nggak sopan masuk ke kamar orang tanpa izin," tegur Toha begitu mereka kembali ke beranda depan sambil berjongkok setinggi badan bocah balita itu.

"Tapi, Pa. Nisa cuma pengin cari empus," bantah bocah itu dengan pipi mengembung.

"Tetap saja nggak boleh masuk sembarangan. Ini bukan rumah kita, oke?" sahut Toha sambil memeriksa sekujur badan bocah mungil itu. Barangkali ada lebam di sana. "Jadi, kita mesti apa sebelum masuk kamar orang?"

"Ketuk pintu dan jangan masuk kalau nggak ada orang di dalam," sahut balita itu dengan tampang merengut.

Toha tersenyum lega sambil mencolek hidung bangir bocah itu saat tidak menemukan satu pun lebam atau luka goresan di kulit balita itu.

"Apa ada yang terluka?" tanya Pak Harso sambil menatap mereka dengan sorot cemas. "Aku sangat menyesal dengan kelakuan ... kau tahu, ibu mertuamu yang hilang kendali."

"Kami baik saja," sahut Toha sambil bangkit berdiri dan meraih tangan mungil balita itu. "Lebih baik kami segera pergi. Mama ... beliau tidak senang kami ada di sini."

"Kita ... nggak jadi menginap di rumah eyang, Pa?"

Toha menggeleng dengan segurat senyum masam. "Mungkin lain kali. Eyang sedang sakit sekarang, jadi harus banyak istirahat."

Bocah balita itu mengikik geli saat jemari Toha menggelitik pipi.

"Salim dulu sama kakek," titah Toha sambil melepas gandengan tangan.

Bocah itu tampak meragu, namun tetap menurut. Dengan kikuk dan sorot waswas saat mencium punggung tangan keriput itu, lantas segera kembali memeluk erat paha Toha.

Toha mengacak rambut dan kembali mengandeng tangan balita itu. Kemudian mengangguk begitu bertemu mata dengan Pak Harso. "Kami pamit dulu, Pa. Ayo, Nis ... kita pulang."[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang