Minggu ketiga sejak Imran bersikap bungkam dan kali pertama pria itu tidak tidur ke rumah, Toha mulai gelisah setiap malam. Meski sudah berusaha berpikiran positif, tetap saja prasangka buruk kerap mengusik benak."Tidur di mana kau semalam?" tanya Toha saat kali ketiga pria itu tidak pulang ke rumah. "Jelas tidak ketiduran di kantor karena semalam aku ke sana dan pintu kantormu sudah digembok dari luar."
"Aku sedang makan," sahut Imran sambil memotong roti bakar isi daging sebagai menu sarapan menjadi irisan seukuran mulut. Tidak menaruh minat pada pilihan topik Toha.
Toha meletakkan garpu dan mencondongkan badan ke seberang meja makan. "Ke mana kau semalam?" ulang Toha dengan nada penuh tekanan.
Perpaduan sikap bungkam dan kelakuan pergi tanpa kasih kabar sudah melewati ambang batas toleransi Toha. Persetan dengan pelanggaran hak privasi individual.
"Tidur di rumah klien; kondisinya kritis," jawab Imran sambil menusuk sepotong roti dengan garpu dan segera menaruh ke dalam rongga mulut. "Dia butuh pengawasan medis dua puluh empat jam."
Toha kembali bersandar ke punggung kursi sambil memutar bola mata. "Irasional sekali alasanmu, Imran. Kalau ucapanmu benar; kenapa dia tidak memilih rawat inap saja di rumah sakit?" debat Toha sambil meneleng kepala ke satu sisi dan melipat kedua lengan ke depan dada.
"Aku yakin, wanita itu cukup kaya untuk berobat ke rumah sakit dengan peralatan medis memadai daripada harus menyewa jasa seorang dokter kurang pengalaman sepertimu," sambung Toha sambil mengedik bahu kecewa.
Entah karena alasan bodoh itu atau fakta bahwa dia sengaja tidak berusaha mengubur bangkai agar Toha tahu kalau pria itu sudah tiga malam tidur dalam pelukan wanita lain.
Sehari setelah malam pertama Imran tidak tidur di rumah, Toha mengendus aroma ganjil saat sedang membungkus sampah penuh ceceran sayur layu dan nasi basi dalam kantong plastik hitam besar.
Merasa menganggu, Toha pun segera mencari sumber aroma itu di setiap sudut dapur dan berakhir dalam keranjang cucian penuh tumpukan pakaian kotor mereka yang berada di sebelah mesin cuci. Tertegun kala menemukan aroma ganjil itu bersumber dari serat kain kemeja kotor Imran yang dikenakan pria itu kemarin.
Menilik dari aroma parfume saja, Toha tahu kalau wanita itu masih muda dengan karier cemerlang di sebuah perusahaan besar. Aroma itu selalu menguar setiap Toha duduk di kafe menikmati secangkir kopi hangat semasa kuliah dulu bersama rombongan wanita dalam balutan busana kerja formal, berada satu ruangan dengan mereka.
"Siapa wanita itu?" tanya Toha sambil memejam mata dan menarik napas panjang, dengan mudah mengendus kembali aroma asing itu bercampur bau keringat dan deodoran di kemeja kotor pria itu.
"Klien-ku," ulang Imran sambil mengunyah roti daging itu tanpa selera.
Toha segera merogoh saku dan menaruh secarik kertas ke tengah meja agar pria itu bisa melihat cukup jelas. "Mana ada orang sakit makan di restoran mahal, Imran."
Namun reaksi pria itu tidak sesuai harapan Toha. Tidak ada gesture gugup maupun lirikan mata gusar seperti gelagat orang tepergok sedang melakukan kecurangan. Pria itu malah tampak bosan mengamati nota tagihan pesanan makan malam dengan huruf ketikan buram karena terendam air cucian.
"Nota itu kutemukan di saku celanamu saat sedang menyetrika baju," sambung Toha sambil mendesah lesu ketika pria itu tidak merespons. Hanya diam dan kembali melahap roti daging.
"Oh ... sialan," umpat Imran begitu melirik arloji dan segera mengelap mulut dengan selembar tisu bersih. "Aku berangkat sekarang; sudah telat sepuluh menit."
"Telat bekerja atau bertemu wanita itu?" sindir Toha sambil tergelak. Meski tanpa humor maupun nada mengejek ketika melihat pria itu bangkit dari kursi, lantas membungkuk ke sisi meja dan mencium kedua pipi anak balita mungil mereka.
"Makan rotimu," sahut Imran sambil meneguk habis segelas susu dan meraih tas kerja sebelum beranjak dari meja makan itu. "Berisik sekali suaramu."
Meski samar, Toha masih bisa menangkap nada jemu dalam suara berat dan serak pria itu. Merenggut kertas nota itu dengan kepala merunduk begitu sadar bukti itu tidak cukup ampuh untuk membedah lidah pria itu.
Menjelang sore, ponsel Toha berdering. Pemuda itu pun segera ke kamar dan mengambil ponsel di nakas. Lantas menaruh ponsel ke dekat telinga setelah menerima panggilan itu.
"Yeah, benar. Dengan siapa ini?" tanya Toha begitu panggilan telepon dari nomor tak dikenal itu tersambung.
Imran pulang saat hari beranjak petang bersama boneka panda sebesar separuh badan pria dewasa. "Nggak suka, ya?" ucap Imran dengan tampang sedih saat balita itu tidak tertawa girang sambil tepuk tangan penuh semangat setiap kali mendapati boneka baru.
Malah sibuk sendiri memilih bola aneka bentuk dan menaruh bola itu ke kotak lubang yang sesuai dan menggerutu lucu saat bola bocah balita itu salah masuk. Berulang kali menepuk bola agar segera masuk.
Imran segera membantu dengan menaruh bola ke lubang yang benar. Bukan senang, balita itu malah memelotot sebal dengan pipi mengembung menggemaskan.
"Tadi siang papa menelepon," ucap Toha begitu masuk ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring pisang goreng serta kacang rebus.
"Mertuamu?" sahut Imran tanpa menoleh dengan sebelah tangan sibuk menghindar dari tangkapan tangan mungil balita itu.
"Balikin bola itu, Imran," tegur Toha geram dengan kelakuan pria itu yang tampak senang membuat Nisa kecil kesal.
"Aku baru sadar, Toha. Nisa kalau sedang marah mirip--" Imran refleks berjengit mundur begitu bola berbentuk segitiga menimpuk cukup keras sudut mata kiri saat pria itu menoleh ke arah Toha.
"Apa kubilang," balas Toha segera mendekat ke Imran yang sekarang berdiri sambil mengusap sudut mata. Merebut bola berbentuk kotak di tangan kanan pria itu dan memberikan bola itu ke Nisa begitu tiba di depan mereka. "Coba kulihat."
"Nggak ada cedera parah. Hanya luka gores ringan di bagian kantung mata," lapor Toha sambil mengembus napas lega saat tidak mengendus aroma ganjil itu bersembunyi di balik serat kain kemeja Imran begitu berdiri menempel ke dada bidang dan memeriksa sudut mata pria itu. "Masih ada satu plester di kotak obat. Mau?"
"Nggak usah," tolak Imran sambil melangkah mundur. mencubit gemas pipi gembil bocah balita yang masih merajuk itu sebelum duduk di sofa, lantas menyeruput teh. "Kapan pergi ke sana?"
"Besok pagi bareng Nisa," sahut Toha sambil duduk di ujung sisi lain sofa. "Sudah seminggu lebih mama sakit keras."
Imran menghela napas berat. "Kalian menginap?"
"Beberapa hari, mungkin?" pancing Toha dengan harapan pria itu sadar bahwa dia tidak bisa hidup sendirian tanpa kehadiran mereka. "Kau ... ikut membesuk besok?"
"Aku bisa mengantar kalian dulu sebelum berangkat ke kantor besok," sahut Imran memadamkan pelita harapan Toha sekali tiup.[]
