(21)

7.3K 358 11
                                    


Butuh sekitar setengah jam bagi mereka tiba di tanah pemakaman yang berada di puncak bukit dengan deretan batu nisan mencuat muram dari gundukan tanah berumput kering.

Mereka berhenti di tengah sepasang pusara dengan batu nisan berukir nama kedua orang tua Barga. Tampak pudar dan aus, nyaris tak terbaca.

Angin sore berembus kencang menerpa mereka. Toha refleks melipat tangan ke dada, berusaha menangkal gempuran suhu dingin.

"Malam itu, hujan mengguyur deras saat telepon mendadak berdering," buka Bi Lasmi sambil mengelus lembut batu nisan kedua pusara itu dengan mata menerawang ke masa silam.

Menurut laporan petugas yang mengevakuasi jenazah kedua orang tua Barga, kecelakaan terjadi karena kondisi jalan licin dan minim cahaya sehingga ban mobil mengalami selip dan terjun bebas ke jurang.

Butuh waktu selama tiga jam untuk menarik mobil dari dalam jurang dengan bantuan mobil derek. Mereka terkejut saat mendapati bocah berumur delapan tahun sedang menangis di dalam sana. Hanya menderita luka ringan berupa lecet di bagian siku serta memar di dahi akibat benturan keras.

Sementara catatan medis menyatakan korban meninggal akibat tusukan patahan dahan pohon menembus dada dan mengenai jantung setelah memecahkan kaca depan mobil mereka.

"Aku tak tahu, salah apa mereka sampai harus mengalami kematian tragis seperti itu," sambung Bi Lasmi dengan suara terisak dan bahu berguncang. Tak kuasa membendung sesak yang sudah lama menekan dada setiap mengingat kenangan mengerikan itu.

Toha segera mendekap dan mengusap punggung wanita renta itu, meski agak canggung. "A-aku turut berduka atas kematian mereka."

"A-aku hanya merasa bersalah pada mereka karena gagal mengasuh Barga dengan segenap cinta. B-bukan aku tak peduli atau kurang perhatian pada bocah malang itu, t-tapi ... ya, tuhan. A-aku pasti sudah menjadi ibu angkat yang sangat buruk bagi Barga!" ratap Bi Lasmi penuh sesal.

"Bukan salah Bibi tidak bisa memberi cinta hanya pada Barga. Masih ada anak Bibi yang butuh perhatian dan kasih sayang," hibur Toha sambil menarik napas dalam. "Barga pasti mengerti kalau Bibi harus membagi cinta sama rata di antara mereka."

"Toha," panggil Bi Lasmi sambil melepas pelukan dan menyeka pipi dengan punggung tangan. "Barga pasti akan lebih bahagia kalau hidup bersamamu."

Toha tergeragap. "A-aku?"

Bi Lasmi mengangguk. "Sudah lama Barga mengagumimu, Toha."

"Oh, dingin sekali di sini."

"Yeah, kau benar. Mau pulang sekarang?"

"B-boleh?" tanya Toha meragu.

"Oh, astaga!" erang Bi Lasmi begitu teringat sesuatu. "Bibi lupa bikin makan malam. Jam berapa sekarang?"

"Hampir pukul delapan," sahut Toha spontan sambil melirik arloji di pergelangan tangan. "Masih keburu?"

Bi Lasmi mengedik bahu. "Semoga saja mereka belum mati kelaparan di rumah."

Setelah bergegas menembus jalan pintas menuju rumah Bi Lasmi, Toha tertegun begitu tiba di beranda depan dan mendapati Barga di sana sedang mengayun tubuh Edi di udara, bikin bocah itu menjerit kegirangan.

"Om Barga, gantian dong!" rengek Dion sambil melompat tak sabaran di sebelah Barga. "Dion juga pengin jadi pilot!"

Ayunan tangan Barga berhenti saat melihat Toha berdiri mematung di jalan setapak menuju beranda. Seulas senyum tanpa sadar mengembang di bibir lelaki itu.

"Oh ... hei, Toha," sapa Barga sambil menurunkan Edi dan bergegas menghampiri Toha. Bikin tampang kedua bocah berubah cemberut. "Senang sekali bertemu denganmu di sini."

"Di mana Nisa?" tanya Toha seketika melibas senyum Barga.

"Kami ... batal kencan."[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang