Toha mengira tidak akan bertemu dengan Dania lagi sejak insiden kertas pesan hilang itu tempo hari. Namun tebakan itu salah, gadis itu selalu mendekat setiap dia ingin menjauh. Siapa sangka, bertemu Dania merupakan bencana bagi kehidupan tenang Toha.Selama tiga tahun menapak kaki di gedung kampus, Toha sudah cukup bahagia hidup dalam dunia kecilnya sendiri. Menjadi tak kasat mata bukan sesuatu yang buruk bagi Toha. Tidak akan ada gosip miring atau menjadi sasaran empuk korban rasa bosan yang butuh hiburan sesaat.
Toha sangat tidak berpotensi untuk mendongkrak popularitas seseorang. Dia bukan pemuda menarik atau cukup pintar sebagai bahan sontekan ketika mengikuti ujian. Jadi Toha penasaran, kenapa gadis itu terus menempel padanya.
"Kau tahu ... penjilat?" tanya Dania ketika lebih memilih duduk semeja dengan Toha di kantin kampus daripada bersama rombongan anak populer. "Aku sudah bosan berteman dengan mereka."
Toha mendengus saat sadar semua pasang mata mengarah ke padanya. Merasa kurang nyaman dengan lirikan cemburu atau tatapan tajam penuh tuduhan palsu. "Kau ... bukan temanku."
Dania tersenyum puas. "Itu yang kusuka darimu, Toha."
Toha menggeleng, lantas bangkit dari kursi dan berderap meninggalkan kantin. Membuang muka saat melihat dua gadis saling berbisik sambil sesekali menunjuk padanya saat Toha melintasi koridor menuju ruang kelas.
Berdecak sebal ketika mendapati rangkulan lengan seorang pemuda begitu memasuki kelas. Bersikap sok akrab seperti sahabat karib yang sudah berkawan lama. Padahal dulu bertegur sapa pun jarang sebelum rumor soal kedekatan Toha dan Dania beredar luas ke seantero kampus.
Namun kini, mereka bertingkah seperti sekawan lalat yang langsung mengerubung begitu melihat santapan lezat. Ck, menjijikkan.
"Jangan mau jadi korban gosip. Aku dan Dania nggak ada hubungan apa pun," tegas Toha sambil menepis rangkulan lengan pemuda itu dari leher. "Aku butuh ketenangan di sini. Jadi berhenti mengangguku, oke?"
Menerabas kerumunan itu, segera berjalan ke kursi di pojok belakang dekat jendela dengan iringan tatapan memusuhi dari mereka. Persetan dengan Dania!
Melempar ransel ke meja, memasang headset ke telinga dan duduk bersandar ke kaca jendela sambil memejam mata. Toha butuh mengisi daya setelah mengalami hari yang cukup menguras emosi; belum siap menjadi sorotan publik dengan risiko berakhir sebagai bahan gosip murahan.
Toha beruntung ada pria itu yang bersedia menampung segala gundah. Dia pun segera mengemas buku dan alat tulis ke dalam ransel dan bergegas menuju perpustakaan. Kebetulan kelas terakhir hari itu kosong, jadi tidak perlu kembali ke kelas sampai jam pulang kampus.
Saat sedang sibuk menulis deretan angka hampir sehalaman penuh. Deritan samar kaki kursi bergeser pelan di sebelah, menginterupsi kegiatan korespondensi Toha.
Toha lekas menoieh dan tidak kaget melihat Dania duduk di sana sambil menopang dagu menatapnya dengan seulas senyum jenaka.
"Obrolan kita belum selesai tempo lalu," kata Dania sambil melirik kertas penuh tulisan tangan Toha dengan tekun menulis angka di atas sana. "Ada aplikasi berbalas pesan yang lebih praktis dan efisien, Toha."
Toha mengedik bahu, enggan meladeni obrolan gadis itu. Kembali fokus mencari kata dalam buku dan menaruh posisi letak kata itu dalam urutan deret angka.
"Yeah, mungkin lebih aman menulis pesan dengan mekanisme indeks buku seperti itu kalau kau memang tidak ingin dia tahu identitasmu," sambung Dania mencoba memahami pilihan konvensional Toha dalam berkirim pesan. "Tapi bagaimana dia bisa menemukanmu kalau kau memilih terus bersembunyi?"
Gerakan tangan Toha sejenak berhenti, namun bergerak kembali dengan kecepatan konstan mengisi ruang kosong yang masih tersisa dengan deret angka.
"Sudah cukup. Hentikan coretan konyol itu, Toha."
Namun Toha tidak peduli dengan larangan Dania. Telusur telunjuk kembali ke paragraf ketiga di halaman buku itu saat dia lupa kata berikut dalam pesannya berada di urutan ke berapa dari dua belas kalimat dalam satu paragraf panjang itu.
"Siapa cowok itu?" cecar Dania sambil mengedar mata ke sekitar mereka dan menemukan ada tiga pemuda di sana. "Apa dia ada di ruangan ini, Toha?"
Mengembus napas sabar sambil menghitung ulang jumlah kata dari awal kalimat sampa tiba di kata itu. Toha mulai frustrasi dengan kehadiran gadis itu.
"Oke, kalau kau nggak mau kasih tahu. Aku bisa cari sendiri," putus Dania sambil merenggut kertas itu dari tangan Toha. Ada coretan tinta memanjang ketika kertas itu tertarik dari ujung pena.
Toha menoleh geram menatap Dania. Sudah berdiri sambil mengacungkan kertas itu dengan terentang tegak lurus ke atas kepala seperti sedang mengibar bendera perang.
Berubah gusar ketika sadar semua pasang mata mengarah ke kibaran kertas itu dengan sorot penasaran. Termasuk pria itu yang menatap intens dengan kerutan samar di dahi.
"Oke, kita bikin aja kesepakatan. Aku akan beritahu kamu dan sebagai balasan, kamu harus berhenti mengangguku," bujuk Toha mencoba bernegosiasi.
"Cukup adil," sahut Dania tanpa pikir panjang dan kembali duduk ke kursi dengan tampang penuh kemenangan. "Jadi, di mana dia sekarang?"
"Searah jarum angka tiga, duduk dua kursi dari ujung sebelah kanan meja di barisan paling belakang," sahut Toha cepat dalam satu embusan napas singkat.
"Seleramu tidak buruk juga, Toha," sanjung Dania setelah berhasil menemukan posisi duduk pria itu sesuai arahan Toha.
"T-tunggu, kau ... mau ke mana?" tanya Toha ketika mendadak Dania bangkit dan melenggang santai ke meja barisan palingan belakang. "Oh, sialan. Kau sudah melanggar kesepakatan kita, Dania!"
Tangan Toha mengepal dengan keringat dingin mulai membasahi punggung, mengirim sensasi dingin ke sekujur badan dan bikin bulu kuduk meremang begitu melihat Dania tiba di depan meja pria itu dan menunjukan kertas penuh deretan angka itu.
Toha segera merunduk ketika menangkap gerakan kepala mereka menoleh serentak. Tak kuasa melihat reaksi pria itu ketika tahu ada penganggum rahasia yang berjenis kelamin sama. Apakah dia akan ... jijik dan menjauh?
Hampir setengah jam berselang ketika mendengar deritan samar kursi sebelah. Tanpa perlu menoleh, Toha tahu bahwa orang itu Dania karena hidungnya mulai mengenali aroma segar dan penuh percaya diri gadis itu menguar begitu pekat. Nyaris memabukkan.
"Muhammad Imran Alfatih, putra sulung dari pasangan Ibu Amina dan Bapak Hanafi. Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Spesialis Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi," lapor Dania membacakan biodata singkat pria itu dengan logat seperti pembawa acara berita. "Pernah menjadi ketua OSIS dan kapten basket semasa SMA dulu, dan ..."
Toha meneguk ludah tanpa sadar, menanti penuh cemas bagian terburuk dari informasi beruntun itu.
"Dia masih single," bisik Dania menutup laporan itu.
Toha menggigit bibir agar tidak menjerit girang dan mengepal tangan menahan dorongan untuk memeluk Dania sebagai ungkapan rasa senang.
"Aku masih punya kejutan untukmu," sahut Dania dengan senyum sok misterius.
Kening mengerut saat melihat Dania menggeser secarik kertas dengan sederet angka melintang di sana ke dekat Toha.
"Jangan lupa telepon aku, Baby. Aku tunggu malam ini," sambung Dania meniru suara berat cowok sambil menaruh satu tangan ke telinga dengan jempol dan kelingking teracung membentuk gagang telepon.
"Trims," ucap Toha tulus dan merasa bersalah karena sudah bersikap kurang bersahabat dengan gadis itu ketika kali pertama mereka bertemu. "A-aku .... aku tak tahu bagaimana harus membalas kebaikanmu."
Dania mengedik bahu. "Aku senang bisa membantumu, Bukan Temanku."
Sejenak mereka saling pandang sebelum meledak dalam tawa bahagia dan berakhir dengan pengusiran keluar dari perpustakaan.[]