"Tanpa aku, Alvin baik-baik saja. Mungkin lebih baik kami begini."
<>
THALIA
<>
Tiga bulan telah berlalu semenjak ketukan pintu yang mengubah segalanya di hidupku itu terjadi. Setidaknya aku telah cukup terbiasa dengan dua perubahan besar di hidupku. Pertama, menyangkut hubunganku dengan Mama. Sebulan yang lalu, Mama keluar dari rumah sakit jiwa dan langsung mengemasi barangnya untuk tinggal di Bandung, di rumah masa kecilnya.
"Yaya... Mama kangen ketemu Yaya. Kangeeeen banget. Tapi Mama nggak mau Yaya melihat Mama dalam keadaan begini. Liburan semester, kamu ke Bandung, ya? Mama usahakan Mama sudah sembuh total saat itu." Adalah isi telepon Mama kepadaku yang aku respons hanya dengan kalimat kesanggupan. Sejujurnya, aku bersyukur akan keputusan Mama. Aku pun belum merasa siap untuk menemui Mama saat ini.
Kedua, tentang tekadku mengubur perasaan untuk Alvin. Aku memang berhasil menjalani hari-hari di sekolah sebagai Thalia yang ambisius dalam belajar dan hanya belajar, karena sebelumnya aku ambisius meraih nilai sempurna dan membuat Alvin bahagia. Bahkan sering aku merasa konyol mengingat diriku selama tiga tahu belakangan, terutama satu setengah tahun terakhir setelah aku menyatakan cinta. Bisa-bisanya aku mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk lelaki yang bahkan setelah aku membuat jarak dari dirinya, tampak menjalani hidup dengan biasa saja.
Tetapi, tanpa memberi perhatian lebih ke Alvin pun, misiku berhenti menyukai lelaki itu tidak berjalan semulus yang kuinginkan. Meskipun ada perasaan kecewa yang menyelimuti hatiku setiap mendengar namanya, debaran dan rona merah itu masih juga menghampiriku di saat-saat tertentu.
Contohnya, sebulan yang lalu. Tim basket Garda Bangsa sempat berlatih di lapangan outdoor di tengah gedung sekolah, tidak di GOR seperti biasa. Pemandangan yang langka itu kontan menarik perhatian satu sekolah, terutama kaum hawa yang dengan semangat empat lima ingin mendapat posisi terbaik supaya bisa mengamati pemain-pemain Garba dari dekat. Melawan otakku yang berteriak memerintah meninggalkan kerumunan itu, aku memosisikan diri di balkon lantai dua yang sangat strategis.
Alvin sangat wangi dalam pertandingan latihan itu. Wangi adalah istilah yang biasa digunakan untuk pemain yang tembakan tiga poinnya masuk dengan mulus. Nama Alvin dielu-elukan oleh banyak orang, bahkan para cowok. Aku tidak sanggup menahan senyum. Manuver-manuver Alvin memang menakjubkan, seakan-akan dia sengaja memanfaatkan momen ini untuk memamerkan kemampuannya. Tiba-tiba saja, Alvin mendongak ke atas dan tersenyum. Aku bersumpah, Alvin menatapku tepat di bola mata dalam dua detik yang terasa seperti selamanya. Aku masih mempertahankan senyuman selama beradu pandang dengannya. Setelah Alvin kembali menatap lawannya dan fokus ke pertandingan, kehangatan menjalari kedua pipiku.
Sial, lo lemah banget, Thal!
Namun, sampai sekarang, aku masih diliputi keraguan. Apakah benar Alvin tersenyum padaku? Siapa tahu ia sedang tebar pesona ke cewek-cewek di lantai dua. Skenario tersebut aku pilih untuk yakini supaya khayalan babuku tidak semakin liar.
Ketika Garba berhasil mempertahankan gelar champion DBL musim ini dan Alvin mendapatkan titel Most Valuable Player, aku menatap fotonya yang menghiasi laman olah raga salah satu surat kabar selama lebih dari satu menit. Aku selalu mengapresiasi orang-orang yang memiliki target dalam hidup dan bersungguh-sungguh mencapainya. Hal itu dapat kutemukan di diri Alvin menyangkut basket. Wajah Alvin begitu semringah, mulutnya terbuka lebar akibat senyum yang lebih mirip tawa, hingga matanya menyipit membentuk bulan sabit terbalik.
Well, he is happy. Tanpa aku, Alvin baik-baik saja. Mungkin lebih baik kami begini.
Teng! Alat pemanggang roti itu memuntahkan isinya, yaitu lima lembar roti tawar yang telah berubah warna menjadi kecokelatan. Aku mengambil potongan roti itu dan segera menggabungkannya dengan telur ceplok yang aku masak setengah matang. Aku menyiramnya dengan keju leleh yang masih hangat. Terakhir, aku menaburkan daun parsley supaya semakin estetik dan sedap. Sabtu ini, aku tidak mencoba resep baru apa pun karena harus menyiapkan keperluanku untuk mengikuti Pelatnas. Hari Minggu besok, aku akan bertolak ke Bandung selama dua minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...