12 | A Sweet Date

2.7K 454 60
                                    

"Tuhan, aku tidak lagi merasa berlari di treadmill sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tuhan, aku tidak lagi merasa berlari di treadmill sekarang. Alvin menepati janjinya untuk sungguhan berusaha."

<>

THALIA 

<>

Lebih dari dua kali aku mencuri dengar pembicaraan para gadis mengenai masa depan yang mereka impikan bersama lelaki pujaan hati. Akan menikah menggunakan adat apa, akan menetap di kota apa, akan memiliki berapa anak, dan lain sebagainya. Sedangkan aku, bahkan saat aku masih menjadi penggemar setia Alvin, tidak pernah bermimpi muluk-muluk. Rancangan masa depanku selalu melibatkan MIT—kampus impianku—dan dunia keilmuwan biologi di luar negeri. Tidak ada Alvin di dalamnya. Sekadar melamunkan imaji berkeluarga dengan sosok lelaki idaman yang masih tidak memiliki muka pun jarang kulakukan. Aku melihat Alvin sebagai seseorang yang layak untuk dicintai—dan aku sempat berharap ia membalas perasaanku juga—selama masa sekolah ini, itu saja.

Anehnya, setelah sikap Alvin padaku berubah seratus delapan puluh derajat layaknya sebuah alat elektronik yang mengalami hard resetting dan mengadopsi cara kerja baru yang sangat bertolak belakangan dengan sebelumnya, imaji romansa di masa depan itu mulai muncul. Aku menatap bayanganku di cermin sambil menata rambut sekaligus memainkan sebuah skenario di otak. Mungkin saja, hari ini aku akan menanggalkan status jomlo. Mungkin saja, kami akan menjalani hubungan yang awet sampai lulus dari SMA. Mungkin saja, kami berhasil mengatasi tantangan long distance relationship, lalu ...

"Gila ya, Alvin nggak mungkin ngegas segitunya!" akibat frustasi, aku spontan mengacak rambutku sendiri—rambut yang telah kutata rapi dan kuberi bandana berwarna pastel yang cantik. "Ah, shit, jadi berantakan lagi, kan!"

Aku memejamkan mata rapat-rapat, mengusir imajinasi aneh bahwa Alvin akan memperlakukanku lebih dari seorang teman dekat hari ini. Ketika mataku terbuka, aku melihat pesan baru masuk ke ponselku, diikuti suara mobil berhenti di depan rumah.

Alvin sudah tiba untuk menjemputku ke Ancol.

Aku berlari ke luar rumah dengan tas ransel kecil tersampir di pundak sambil berusaha mengabaikan jantungku yang mulai berdisko. Mobil hitam itu memang miliki Alvin, aku masih mengingatnya dengan baik. Segera aku membuka pintu depan di sebelah pengemudi. Suara tawa Alvin menyambutku begitu aku terduduk.

"Astaga, nggak usah buru-buru kali!"

Aku melirik penampilan Alvin. Ah, sial, kenapa pula dia harus mengenakan kaos polos berwarna hitam dengan luaran kemeja kotak-kota biru tua dan celana jins abu-abu gelap, sih? Itu adalah kombinasi outfit terganteng Alvin. Apalagi saat nanti cuaca mulai gerah, Alvin bisa-bisa menanggalkan kemejanya, menyisakan kaos hitam pas badan yang dapat menonjolkan dada bidang dan otot lengan.

Benar-benar bisa membuatku meleleh seperti es krim di siang bolong.

Setelah kesadaranku kembali, aku berucap. "Gue kan, nggak mau lo nunggu lama. Lagian, lo pake nraktir gue segala, sih. Makin nggak enak gue sama lo." Alvin memang bersikeras membayar semua pengeluaran kami berdua hari ini.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang