"Kenapa sekarang, Vin? Apa yang berubah?"
<>
THALIA
<>
Aku menunggu Chrysan selesai bercakap dengan kedua orang tuanya di ruang tengah. Aku berbaring di kasur Chrysan sambil mendengarkan lagu yang kuputar di ponsel dengan volume rendah. Suara pintu yang terbuka tiba-tiba sedikit mengagetkanku.
"Eh, maaf maaf!" Chrysan cengengesan. Ia mendorong tubuhku pelan, memintaku bergeser untuk memberinya tempat di kasur. Setelah ia mengambil posisi nyaman, aku menolehkan kepala memandangi Chrysan.
"San?"
Chrysan menoleh ke arahku. Melihat wajah penuh kekhawatiranku, ia hanya meringis.
"Nggak apa-apa, kok. Mami sama Papi kan baik hati dan bukan diktator! Gue cuma disuruh bikin perjanjian aja untuk nggak ngulangin kesalahan gue selama semester tiga kemarin."
Aku menghela napas berat. Hasil rapor semester tiga Chrysan memang jauh lebih buruk dibanding dua semester sebelumnya. Gadis itu sangat aktif di kepengurusan OSIS dan klub jurnalistik selama kelas sebelas ini. Belum lagi Chrysan memiliki banyak teman dan kenalan di seantero sekolah, bahkan sekolah-sekolah lain, membuat hari liburnya juga penuh kegiatan—yang disebut Chrysan sebagai 'kegiatan sosial'. Tentu saja kegiatan pacaran Chrysan juga cukup menyita waktu.
"Tapi, maaf ya ... Hehe. Gara-gara gue, langganan Netflix sekeluarga diberhentiin. Hehe."
Aku membelalakkan mata. Aku tidak masalah, toh hari-hari sekolahku memang jarang kugunakan untuk marathon menonton drama seperti Chrysan. Hanya saja, aku tahu pasti Chrysan mencintai dunia sinema lebih dari sekedar hiburan. Ia memiliki sebuah blog yang didedikasikan khusus untuk memberikan ulasan dan opini mengenai setiap tontonannya. Chrysan terbiasa menilai film dan serial dari banyak segi yang aku pun tidak paham. Hal itu juga yang membuat Chrysan dekat dengan Rivan. Dimulai dari kerjasama mereka mengolah dokumentasi acara-acara OSIS menjadi sebuah film-film pendek yang sangat berkualitas. Intinya, aku takut Chrysan menjadi tertekan karena dijauhkan dari hal yang menjadi passion-nya untuk semester empat yang akan dimulai sebentar lagi.
Ibu jari dan telunjuk Chrysan membentuk capit, lalu mencubit ujung hidungku dengan keras.
"Woi, sakit!" Aku memukul lengan Chrysan. Cewek itu hanya terkekeh.
"Nggak usah khawatirin gue. Lo mending ngurusin seseorang yang lebih butuh perhatian lo, deh."
"Siapa?" tanyaku cepat.
"Alvin." Jawab Chrysan lugas. "Dia tuh, punya tendensi untuk nyimpan perasaan rapat-rapat. Udah berkali-kali gue teriak di depan dia: lepaskan, Alviiin! Lepaaaskaaaan! Tapi muka dia ya bakalan datar-datar aja sambil bilang "gue nggak papa". Padahal?!?! Hiiiih, dasar cowok gengsi segede gunung!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...