Thalia bersumpah, ia membenci kekikukan dalam percakapan dengan orang lain. Sebab ia bukan Chrysan yang secara natural mampu menghidupkan suasana dengan melempar topik yang menarik, Thalia selalu merangkai kata-kata yang pantas dilontarkannya pada pertemuan-pertemuan penting, sejak jauh-jauh hari.
Tetapi, pertemuan kali ini berbeda. Thalia yakin, semua kata-kata yang sudah memenuhi otaknya akan menguap tak bersisa begitu lawan bicaranya memunculkan batang hidung.
Thalia menyambar ponsel yang ia geletakkan di atas meja ruang tamu satu detik setelah ponsel itu bergetar. "Halo?"
"Halo, Kak Thalia. Maaf menghubungi malam-malam begini. Kami tahu ini mendadak sekali, acaranya juga kurang dari dua belas jam lagi. Tapi, kami rasa kakak harus tahu."
Thalia menelan ludah. "Oke ... ada apa, nih? Acaranya batal? Atau gimana?"
Tawa renyah terdengar dari seberang sana. "Bukan, kak. Acaranya masih berjalan, kok. Cuma ada sedikit perubahan rencana. Seharusnya, talkshow besok dihadiri oleh tiga narasumber. Kak Thalia, Kak Alvin sama Kak Arsya. Nah, sayangnya Kak Arsya mengabari barusan, dia nggak bisa hadir."
Tidak perlu menunggu besok, sekarang saja Thalia sudah tidak ingat kata-kata apa yang sibuk ia persiapkan di otaknya sejak kemarin.
"Oh, sayang banget, ya. Terus gimana, nih? Ada perubahan di jadwal atau daftar pertanyaan mungkin?" Thalia berusaha terdengar tenang, padahal detak jantungnya memukik seiring bayangan dirinya dan Alvin berada di atas panggung dan menjadi pusat perhatian satu auditorium, berputar-putar di kepalanya.
"Nggak ada perubahan jadwal, kak. Tapi, perubahan daftar pertanyaan ada. Eh, bukan berubah, sih, tapi ditambah. Nggak apa-apa kan, kak? Satu narasumber batal hadir, bikin durasi acara kami berkurang sepertiga. Sebenarnya nggak masalah selesai lebih awal, hanya saja kami yakin anak-anak Garda Bangsa masih antusias banget. Lebih baik waktu yang hilang digunakan untuk membahas suatu topik lebih mendalam."
Thalia berdecak kesal bercampur kagum. Kalau saja mayoritas siswa SMA Garda Bangsa bukan anak-anak ambisius yang selalu bersemangat mengikuti segala bentuk program persiapan kuliah, acara esok hari pasti dapat selesai lebih awal.
"Oh, kalau gitu banyakin kesempatan bertanya juga, Mel. Biar lebih interaktif talkshow-nya." Thalia meringis setelah mengatakan hal itu. Lihatlah, ia sendiri yang menjerumuskan diri untuk semakin lama menghabiskan waktu di almamaternya.
"Bener juga. Siap, Kak Thalia! Besok kami tunggu di Garda Bangsa. Terima kasih dan maaf ya, Kak."
Begitu percakapan Thalia dengan perwakilan Garda Bangsa itu berakhir, punggung Thalia menghempas sofa ruang tamu dengan kencang. Tomorrow is going to be a long, long day.
---
Fuck ITB.
But not really.
Alvin terkekeh sendiri setiap kali otaknya terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama membenci kampus yang telah membuatnya dikejar-kejar tugas dan memiliki kehidupan sosial nol besar selama tiga tahun terakhir. Sedangkan kubu kedua mencintai kampus tempatnya menemukan talenta tersembunyi, yang kemudian tertempa hingga menjadi banyak prestasi konkrit.
Jika Alvin di masa kini menumpang mesin waktu menghampiri Alvin yang baru saja lulus SMA lalu berkata bahwa dirinya akan menjadi CEO dari sebuah perusahaan kecil yang memenangi kompetisi bisnis internasional berhadiah satu juta dollar, Alvin versi tiga tahun lalu pasti akan menertawakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Novela JuvenilRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...