27 | Bentuk Peduli

1.6K 307 62
                                    

"Namanya juga efek bucin."

-0-

ALVIN

-0-


"Cepet sembuh, jagoan aku," ucap Thalia setelah bibirnya menyapu singkat pipi gue.

Gue nggak pernah ikut lomba panjat pinang, berhubung di daerah gue tujuh belas Agustusan nggak dirayakan dengan heboh, tapi gue cukup sering menyaksikan dokumentasi lomba itu. Menurut gue, panjat pinang paling butuh kekuatan dan semangat pantang menyerah dibanding lomba-lomba lainnya.

Perasaan gue sekarang bisa jadi mirip sama perasaan seorang peserta panjat pinang yang berhasil mendapatkan hadiah paling mahal setelah rela seluruh tubuhnya berlumuran oli. Detak jantung gue belum juga normal sejak tadi dan cengiran bego masih terpampang di wajah gue—mungkin setelah ini ujung bibir gue bakal pegel-pegel.

I don't even remember when was the last time I am this happy.

"Apa yang bakal beda dari kita pas udah jadian gini, ya?" Thalia bertanya sambil membiarkan tangan kanannya gue genggam. Kami duduk bersisian menghadap jalanan, mengamati motor-motor yang mulai saling berdesakan setelah hujan reda. "Selain panggilan kita jadi aku-kamu," lanjutnya.

"Aku jadi punya hak buat cemburu kalau kamu deket-deket cowok lain," jawab gue lugas.

Thalia berdecak. "Tapi jangan keterlaluan posesifnya! Pokoknya kita saling ngingetin kalau salah satu dari kita udah merasa terkekang."

"Nggak janji, Thal. Habisnya kamu itu cakep banget. Kamu dandan dikit aja pas kita nge-date ke Dufan dulu dilirikin cowok-cowok terus." Nasib punya cewek blasteran surga ya gini ini.

"Heh! Nggak usah cemburu sama cowok random, lagi. Nggak mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama sama orang lain terus ninggalin kamu gitu aja."

Sial, gue mau meleleh rasanya. Meleleh, terus menguap, terus jadi partikel-partikel udara yang menghuni atmosfer. Nah, tuh, pengetahuan geografi gue berguna juga pas lagi melankolis begini.

Tiba-tiba, gue kepikiran sebuah pertanyaan. "Ngomong-ngomong, kamu pernah cemburu sama cewek yang deket aku nggak, sih? Dari dulu kamu nyantai aja aku perhatiin."

Badan Thalia sedikit menegang. Gue bisa melihat dia menelan ludah.

"Hm, pernah," jawabnya dengan suara pelan sambil menggigit bibir. Gila, mukanya gemes banget, malu-malu kucing gitu. Gue bisa gesrek lama-lama.

"Oh ya? Kapan?" Sumpah, gue seneng banget sekarang. Bahagia banget gue diposesifin cewek kayak Thalia.

"Pas final Jakarta Cup kemarin, contohnya. Aku pulang duluan soalnya panas lihat kamu deket banget sama Manda."

Thal ... yang bener aja ...

Gue melepaskan genggaman tangan kami. Sebagai gantinya, gue mengangkat tangan kiri gue untuk merangkul leher sekaligus mengacak-ngacak rambutnya.

"Makasih udah cemburu." Gue terkekeh. "But I can assure you, aku nggak ada perasaan lebih dari temen ke Manda. Malah Manda salah satu orang yang bikin aku sadar aku punya perasaan ke kamu lebih dari temen, Thalia Sayang," jelas gue sambil mengeratkan rangkulan.

"Hngg, iya iya percayaaa, sekarang lepas dulu, ih. Bau, ketek kamu!" protes Thalia. Sambil tertawa, gue membebaskan Thalia. "Menurut aku ya," Thalia melanjutkan dengan nada serius. "Wajar kalau aku cemburu ke Manda dan kamu cemburu ke Reihan. Mereka itu orang-orang yang satu dunia sama kita. Manda di basket dan Reihan di olim Biologi. Seberusaha apa pun kita untuk saling ngerti dunia masing-masing, tetep aja ada hal-hal yang cuma bisa dibagi sama yang bener-bener ngerasain secara nyata."

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang