26 | Mulai Bersama

1.7K 344 59
                                    

"Kayaknya emang aku nggak pernah berhenti suka."

<>

THALIA

<>

Ketika aku menerima telepon dari Mama pada malam hari setelah insiden di sekolah, aku langsung merangkai kata-kata penjelasan panjang di otakku. Aku yakin Mama akan menanyakan detail kejadian, mungkin juga akan berceramah panjang lebar.

Yang sebenarnya terjadi membuatku terkejut bukan main.

"Gimana perasaan kamu sekarang?" suara Mama sangat lembut, nada bicaranya sama sekali tidak menuntut.

Semua kata-kata yang terangkai di otakku menguap begitu saja. Mama secara tidak langsung mengijinkanku menjadi vulnerable, membiarkanku mengungkapkan perasaan muak, jijik, dan frustasi yang terbenam di dalam diri. Aku mulai menangis sambil terbata-bata mengungkapkan perasaanku di sela-sela isak.

Mama sampai di Jakarta pada hari Minggu pagi. Kami menghabiskan satu hari itu untuk memanjakan tubuh, mengunjungi spa terbaik, mencicipi masakan di restoran bintang lima, dan berbelanja baju-baju baru. Mama benar-benar berusaha mengembalikan keceriaanku dan aku sangat menghargainya. Kami tidak menyinggung insiden itu sama sekali, kami malah berceloteh tentang hal-hal random.

"Ma, kayaknya aku naksir cowok, deh," kataku tiba-tiba ketika kami sedang berbaring terkurap bersebelahan di tempat pijat.

"Masih naksir Alvin? Cowok yang sama kayak yang sering kamu bikinin makan setiap weekend?"

Aku terkesiap. "Mama ... tahu kalau dulu aku bikin itu buat Alvin? Kayaknya aku selalu bilang yang nyicipin makanan itu Chrysan doang." Ya ampun, ternyata selama ini aku menyembunyikan sesuatu yang sudah sangat jelas di hadapan Mama.

"Mama kan, pernah muda. Gerak-gerik kamu itu kelihatan banget. Tapi Mama diem aja, selama target-target pribadi kamu tercapai, Mama nggak ngelarang kamu pacaran, kok." Penjelasan Mama menenangkan hatiku.

"Mama peka juga, ya?" Aku terkekeh. "Iya, Ma, dia orangnya. Aku suka dia sejak kelas delapan. Aku kira perasaan aku udah hilang akhir semester lalu, tapi kok, lama-lama muncul lagi. Kayaknya emang aku nggak pernah berhenti suka."

"Kamu itu emang setia banget orangnya, nggak cepet bosen. Dulu dia nggak balas perasaan kamu, sekarang akhirnya udah, kan?"

Astaga! Kenapa Mama bisa tahu sedetail itu?

"Dari cerita kamu, Mama tahu lagi, Alvin juga suka," lanjut Mama seakan mendengar pertanyaan di pikiranku.

"Masa, sih, dia sesuka itu sama aku, Ma? Alvin itu emang gentleman banget, baik ke semua cewek. Kadang bikin aku ..." Aku menggigit bibir. "... cemburu."

Mama tertawa kecil. "Thalia, Thalia. Kamu itu persis Mama banget, deh. Dulu Mama paling gengsi untuk ngaku cemburu ke Papa, padahal udah makan ati banget. Kamu tenang aja, orang baik bukan berarti suka sama semua orang yang dia bantu, lagi. Kalau dia udah pernah nyatain perasaan ke kamu, kamu harus coba untuk percaya."

Aku bersumpah, ini adalah percakapan terpanjangku dengan Mama perkara cowok. Sebelum percakapan ini, aku selalu menganggap Mama terlalu serius hingga memandang pacar-pacaran khas anak remaja sesuatu yang remeh. Ternyata, Mama sangat santai menyangkut hal seperti ini.

Walaupun begitu, aku masih susah terbiasa dengan perasaan baru ini. Aku memang menyukai Alvin sejak dulu, tapi baru kali ini rasa sukaku bertransformasi menjadi rasa ingin memiliki sedalam ini.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang