47 | The Strongest Angel ⚠️

2K 238 29
                                    

⚠️kekerasan seksual secara implisit⚠️

<>

THALIA

<>

Aku melangkah turun dari taksi online dengan gontai. Bangunan apartemen tinggi yang telah menjadi rumahku selama lebih dari setahun seperti memandangku dengan keheranan, karena tidak biasanya aku semuram ini.

Oh, aku bukan bersedih karena ujian nasional telah berakhir dan aku harus berpisah dengan teman-teman satu angkatan. Lebih tepatnya, aku malu dengan diriku sendiri. Kejadian satu jam yang lalu terus terulang di otakku, membuatku mengacak rambut penuh rasa frustasi.

Setelah kloter terakhir menyelesaikan ujian mereka, kloter lebih awal termasuk aku, langsung keluar dari kelas dan penjuru lain di Garda Bangsa untuk berfoto bersama dan merayakan kelulusan di tengah lapangan. Walaupun aku tidak terbawa hawa sendu dan terharu yang menguar dari banyak temanku, aku tetap mengikuti antusiasme mereka untuk berfoto bersama, lalu saling menanda tangani seragam sekolah, kertas, buku, atau benda lainnya. Ronald bahkan meminta tanda tanganku di topinya!

Mimpi buruk itu terjadi ketika kelasku, 12-1, berencana untuk kembali ke dalam kelas untuk foto bersama di dalam terakhir kalinya. Aku berhasil menggeret Chrysan untuk menjadi fotografer kami. Entah karena terlalu sibuk bercakap dengan cewek itu atau bagian otak yang mengontrol koordinasi gerak tubuhku memang sedang bermasalah, aku tersandung salah satu anak tangga di lantai dua.

Beberapa detik itu terasa seperti slow motion. Aku memejamkan mata, sudah siap untuk mencium anak tangga dan menjadi bulan-bulanan satu kelas berhubung aku melangkah paling depan, sementara rombongan 12-1 mengekor di belakang.

Anehnya, sesuatu menahan tubuhku. Kubuka mata dengan cepat, dan pemandangan di hadapanku sungguh membuatku sempat berpikir, bercumbu dengan lantai sepertinya pilihan yang lebih baik. Lelaki itu sedang melangkah turun, artinya ia menapaki tangga yang sama namun berlawanan arah denganku. Wajahku berada tepat di depan dadanya. Dari jarak sedekat itu, bau mint yang sangat familiar merasuki indra penciumanku.

Aku menelan ludah saat Alvin berseru dengan nada sarat akan kecemasan, "Thal, kalau naik tangga perhatiin jalan!"

Cepat-cepat aku mengembalikan keseimbangan dan menarik tanganku yang ia genggam erat. Aku menoleh ke kanan, rupanya teman-temanku meninggalkanku. Mereka terus berjalan ke lantai tiga meskipun sesekali melirikku dan terkikik geli. Ketika aku menengadahkan kepala, Chrysan melambai dari lantai tiga, lalu menghilang begitu saja.

"Eh, eum, iya, lain kali lebih hati-hati." Astaga! Aku berani bersumpah, suaraku saat itu terdengan seperti tikus yang mencicit. Takut-takut, aku melirik wajahnya. Alvin memandangku lekat sambil menyunggingkan senyum. Aku melawan perasaan aneh yang mulai menjalari hatiku. Perasaan ... rindu, mungkin? Ya, aku kangen melihat senyum yang dulu tidak sehari pun luput aku saksikan.

Eh, tunggu, bukannya seharusnya Alvin membenciku setelah apa yang kukatakan padanya?

Tangannya yang terulur ke puncak kepalaku, lalu mengacak rambutku lembut, semakin membuatku bingung tentang hubungan kami, terutama perasaannya padaku.

"Jalan yuk, hari Sabtu," ujarnya santai, padahal jantungku serasa ingin melonjak dari rongga dada.

"Hah?" Ya, responsku benar-benar cerdas.

Alvin terkekeh. Sejujurnya, suara tawa kecilnya juga tidak kalah kurindukan.

"Nanti aku kasih tahu detailnya di-chat, ya?"

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang