31 | Bentuk Peduli (2) ⚠️

2.3K 273 36
                                    

⚠️kata-kata kasar, kekerasan (ringan)⚠️

hayoloh deg-degan ngga ada warning gini xixi

-

-

"Enak aja. Punya gue itu."

-0-

ALVIN

-0-

Gawat!

Sumpah, ini nggak bisa dibiarin.

Gue beneran udah mengusahakan segala cara, tapi hasilnya masih gitu-gitu aja.

Gue kira gue bukan laki-laki kayak gini, ternyata selama ini gue menilai diri gue ketinggian.

Mau nggak mau, gue harus mengakui kalau gue ...

Kecanduan ...




Ngisengin Thalia.

Hehe.

Beneran deh, wajah keselnya pas dia marah-marah itu ngegemesin banget. Bibirnya manyun maju beberapa senti dan alisnya bertaut. Thalia itu malas menghabiskan energi buat marah-marah, jadi dia bakal pundung diem gitu terus sambil matanya mengawasi gerak-gerik gue. Aduh, keinginan gue bungkus dia dan bawa pulang supaya bisa gue unyel-unyel makin tinggi.

Eh.

Ya, paling nggak harus gue nikahin dulu kalau gitu, ya? Hehe.

Sayangnya, hari ini kesabaran Thalia kayaknya udah habis. "Vin, aku capek kamu giniin terus!" Thalia menghentakkan kaki sambil berkacak pinggang.

"Reaksi kamu yang kayak gini bikin aku ngulangin lagi, Thal," balas gue sambil berusaha mengacak rambutnya.

Dengan sigap, Thalia menepis tangan gue. "Kita ini udah mau ujian semester, Vin. Taubat bentar, kek!"

Gue menahan senyum. Mengabaikan siswa-siswa di koridor yang mulai memperhatikan kami, gue mengambil langkah menuju kelas gue, meninggalkan Thalia.

Gue duduk di bangku sambil menghitung dalam hati. Satu, dua, tiga ...

"Alvin! Jangan ngeselin gini, dong!" Tuh, perhitungan gue tepat. Thalia berlari kecil sampai di depan meja gue.

"Alvin ngapain lo lagi, Thal?" Jessica berseru dari kursinya.

"Iket rambut gue dia tarik gitu aja, Jess! Padahal gue mau ada pelajaran olah raga habis ini." Lagi-lagi Thalia menghentakkan kaki sambil memamerkan wajah cemberutnya.

Puas membuatnya kesal, gue mengambil ikat rambut berwarna hitam yang sejak tadi gue simpan di saku celana. Gue menepuk kursi kosong di sebelah gue.

"Duduk dulu sini, aku iketin."

Thalia melotot, tapi akhirnya dia menurut. Mungkin, dia mempertimbangkan bel masuk yang akan segera berbunyi lima menit lagi.

Gue merangkum rambut halus Thalia yang panjangnya sudah sepunggung dengan tangan kiri, lalu tangan kanan gue memasukkan segenggam rambut hitamnya ke ikat rambut. Gue menarik helaian rambutnya perlahan supaya semakin terikat erat. Gue sengaja melakukannya dengan pelan-pelan supaya gue bisa ... ehem, memandangi tengkuk Thalia yang berhiaskan anak-anak rambut lebih lama.

She's so sexy without even trying.

"Udah belum? Lemot amat!"

Gue mengelengkan kepala untuk mengusir pikiran-pikiran nakal yang mulai timbul.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang