<>
THALIA
<>
Aku memacu langkah semakin cepat berhubung matahari mulai menyembunyikan diri, tenggelam ke dalam horizon. Diam-diam aku menyesali inisiatifku untuk seorang diri menyambangi pemukiman tempat Taman Baca Semesta beraktivitas. Aku cukup puas dengan footage hasil wawancaraku ke anak-anak usia kurang lebih sepuluh tahun beserta orang tua mereka tentang kesan mereka terhadap kegiatan taman baca itu, tapi aku menjadi paranoid sendiri menyusuri gang-gang kecil yang sebenarnya masih ramai oleh orang-orang berlalu lalang.
Jantungku berdebar lebih cepat ketika aku melihat punggung lelaki berjaket coklat buluk itu kembali. Buru-buru aku memasuki celah sempit antar dua dinding rumah yang telah beralih fungsi menjadi tempat sampah. Sambil menahan napas akibat bau busuk yang memenuhi penciumanku, aku melongokkan kepala untuk mengintip keadaan gang, berharap lelaki itu menghilang.
Dia masih ada di sana, tampak sibuk dengan sesuatu di tangannya. Karena aku hanya bisa melihat punggungnya, aku menebak, mungkin di tangannya ada ponsel. Aku berusaha menenangkan diri supaya dapat berpikir lebih jernih.
Kenapa aku harus ketakutan bertemu dengan lelaki berjaket coklat? Entahlah, mungkin karena kemarin aku melihatnya memasuki minimarket yang sama denganku, membeli suatu minuman sambil mengenakan masker hitam. Mungkin karena dalam perjalanan ke sini aku melihat lelaki itu sekilas, sedang menyantap makanan di salah satu depot kecil. Mungkin karena lagi-lagi aku menemukannya di pinggir gang antah berantah di Jakarta.
Kebetulan, atau memang dia mengikutiku?
Dalam keadaan seperti ini, pikiranku menyebutkan satu nama untuk kupanggil lewat ponsel.
Aku mengenyahkan pikiran itu. Setelah beberapa hari saling diam, kurang ajar sekali aku tiba-tiba memanggilnya hanya ketika butuh. Aku memutuskan untuk mengirim lokasiku secara live ke Mama dan Chrysan.
Aku kembali melihat keadaan gang. Lelaki itu lenyap. Aku menelan ludah, menimbang-nimbang apakah sekarang saatnya aku melanjutkan perjalanan.
Sambil memeluk ranselku dan menggenggam ponsel yang sudah siap untuk membuat panggilan emergency ke nomor kepolisian, aku berjalan cepat dengan harap-harap cemas, semoga aku bisa mencapai jalan besar dengan segera.
---
Aku memperhatikan bagaimana wajah cantik Naura meredup seiring dia meletakkan kepala di atas dinding balkon koridor lantai tiga. Aku tahu pasti ke mana pandangannya bermuara.
"Hei," sapaku pelan. Kuletakkan kepala di atas dinding balkon juga. Mata kami bersirobok saat Naura dengan terkejut menoleh ke arahku.
"Hei," balasnya sambil tersenyum manis. Sebuah senyuman yang dipaksakan.
Aku mengalihkan pandangan ke lapangan tengah. Sore ini, seksi dokumentasi OSIS—yang digawangi siapa lagi kalau bukan Chrysan dan Rivan—sedang mengadakan sesi pemotretan pengurus klub tahun ini. Setiap klub telah memiliki jadwal masing-masing, dan pukul 15.20 adalah jadwal Verzata.
"I hate them with a passion," dengusku. Amarahku menyeruak saat memperhatikan Medina dan kawan-kawan berpose di depan lambang Garda Bangsa dengan ceria dan tanpa beban. Gadis sialan itu menempati posisi yang beberapa bulan lalu masih dipegang oleh Naura. Aku menggigit bibir semakin keras ketika kuamati Karen tampak out of place di antara anak Verzata angkatanku.
Naura membuang napas berat. "I don't even have any energy left to hate them ..." bisiknya. "Lagipula, ini yang terbaik buat gue, kok. Ngelihat gimana sekolah nggak mau repot-repot nyelidikin siapa dalang dibalik video dan akun Instagram itu, mental gue jelas nggak kuat untuk balik mimpin klub dengan anggota yang udah nusuk gue dari belakang. Nggak semua, tapi empat orang itu ... udah bikin hidup gue kayak di neraka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Genç KurguRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...