41.2 | Fears Do Come True ⚠️

1.7K 241 73
                                    

baca pelan-pelan, butuh konsentrasi untuk memahami POV ^^

⚠️ self-harm, sexual content ⚠️

*

"THALIA!"

Tangan kananku masih memegang sebilah pisau dapur yang ujungnya kuarahkan cukup dekat ke pergelangan tangan kiri. Aku menengadahkan kepala perlahan ke sumber suara.

Kakiku melemas menyaksikan sosok yang berdiri di sana.

Aku jatuh bersimpuh ke lantai. Terdengar suara berdebam tubuhku menghujam lantai kayu diikuti dengan langkah kaki seorang lelaki yang kemudian merengkuhku ke pelukannya.

Lelaki itu menendang pisau dapur yang telah terjatuh. Sekarang, kami berdua tersungkur di lantai dapur dengan tangannya merangkul pundak dan pinggangku.

"Kamu ... dateng ..." bisikku pelan sambil mengerjapkan mata berkali-kali, memastikan bahwa benar lelaki ini adalah Alvin.

Alvinku.

"Thalia ..." tangan kanan Alvin meraih wajahku. "Aku nggak mau lagi jauh-jauh dari kamu. Aku mau ada di samping kamu terus." Alvin merapatkan keningnya dengan keningku. "At your best or worst state. Aku mau nemenin kamu."

"Bener?" Nada suaraku terdengar sarkastik. Aku tidak bermaksud memojokkan Alvin, aku hanya tidak bisa menghalau perasaan rendah diri yang sedang melahapku dengan brutal. "Bahkan aku aja nggak tahu masih mau terus di sini atau ng—mmhh!"

Alvin membungkamku dengan bibirnya! Tidak lama, karena detik berikutnya dia kembali menjauh.

Pandangan matanya berubah tajam. "Aku nggak akan biarin kamu menilai diri sendiri sesempit penilaian MIT ke kamu." Dia meraih pergelangan tangan kiriku yang memiliki beberapa bercak kemerahan itu. Dia menatapnya dengan penuh perasaan.

Perlahan, Alvin menempelkan bibirnya, tepat di mana pembuluh nadiku berada. Mulutnya bergerak, ia berbicara dengan bibir masih menyentuh kulitku. "Kamu jadi diri kamu sendiri ... itu cukup. Selalu cukup."

*

"Kamu berangkat jam berapa dari Jakarta?" Thalia yang berada dalam gendongan gue bertanya.

"Ajaibnya aku kebangun pas banget kamu share lokasi jam tigaan itu," jawab gue sambil mendorong pintu kamar dengan kaki. Gue menurunkan tubuh Thalia ke kasur perlahan. "Aku langsung ambil kunci mobil. My gut told me that you need me," lanjut gue sambil mengedipkan sebelah mata, berusaha membuat Thalia tertawa.

Berhasil! Ujung bibir cewek gue tertarik ke atas. "Makasih, ya," ujarnya sambil menarik lengan gue. Gue yang mau bangkit dari kasur jadi tertahan. "Bandung dingin, Vin. Kamu di sini aja, peluk aku."

Wah, tawaran yang menarik. Tapi, masalahnya, perut gue keroncongan.

"Aku boleh cari makan dulu nggak, Thal? Belum sarapan. Kamu juga, kan?"

Thalia terkekeh. Yes! Seneng banget gue denger suara ketawanya setelah apa yang hampir aja dia lakukan beberapa menit yang lalu.

"Boleh. Makannya di sini aja, ya. Dibungkus. Aku mau bubur ayam kalau kamu nemu. Tapi kalau enggak, apa aja boleh. Pokoknya jangan lama-lama perginya."

Gue mengecupkan kening Thalia sekilas. "Iya, Sayang."

Untungnya, semesta sedang berpihak ke gue. Sekotak bubur ayam dan sebungkus nasi campur gue bawa di tangan. Gue mampir dulu ke dapur untuk ambil alat-alat makan, lalu langsung menuju kamar tempat Thalia menunggu gue.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang