17 | Next Move

1.8K 344 26
                                    

"Makin mengenal cewek itu bikin gue makin sayang aja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Makin mengenal cewek itu bikin gue makin sayang aja."

-0-

ALVIN

-0-


Gue baru aja walk out dari ruang kepala sekolah. Yap, sebuah tindakan yang kemungkinan besar bakal membuat klub basket dipandang lebih buruk lagi oleh Hermawan. Sayangnya, gue emang nggak bisa duduk lebih lama lagi mendengarkan lelaki kolot itu menguliahi gue tentang betapa menjadi atlet saat mengenakan seragam putih abu-abu adalah hal yang hanya pantas dilakukan oleh mereka yang jago ngerjain ujian pelajaran-pelajaran di sekolah.

What a twisted mindset. Lalu di mana tempatnya siswa-siswa yang bakatnya berada di lapangan?

Gue memacu langkah secepat mungkin. Keluar dari gedung administrasi, gue segera berjalan lurus ke gedung kelas. Nggak, gue nggak mau ke kelas. Gue butuh membasuh wajah gue dengan air dingin dari westafel di toilet.

Gue melirik lambang Garda Bangsa yang terukir besar-besaran di seberang lapangan. Gue selalu punya love-hate relationship sama sekolah ini. Akhir-akhir ini kadar hate kayaknya lebih berat.

Langkah gue terhenti ketika gue mendengar suara seorang gadis menjerit. Gue menoleh ke belakang. Gue melotot dan segera berlari secepat kilat membantu Thalia berdiri dari selokan yang entah gimana kehilangan sebagian jerujinya sehingga kaki gadis itu bisa terperosok ke sana.

All the more reason to hate on this school, goddamnit.

"Kaki lo luka, Thal? Sakit, ya?"

Sekarang, Thalia menyelonjorkan kaki di jalan setapak samping selokan. Semua siswi Garda Bangsa mengenakan rok panjang. Gue yakin rok Thalia tersingkap tadi, memungkinkan kulit kakinya mencium ujung jeruji dengan beringas.

Thalia meringis. "Kayaknya gitu, sih." Perlahan, Thalia, menaikkan roknya sampai ke lutut. Terlihat jelas kulit Thalia terkelupas cukup lebar di sana dan berwarna merah darah.

"Ke klinik, Thal. Yuk, gue anterin." Gue tahu rasanya luka seperti itu. Nggak terlalu sakit kalau udah biasa, tapi tetap perih. Apalagi kaki Thalia yang mulus menandakan dia jarang guling-guling di lapangan kayak gue.

Gue mengulurkan kedua tangan. Thalia meraih keduanya sebagai tumpuan dia berdiri.

"Nggak mau gue gendong aja, Thal?" gue memberi tawaran yang langsung dihadiahi tatapan curiga dari Thalia. Astaga, demi Tuhan gue bukan cari kesempatan dalam kesempitan. Gue beneran kasian melihat dia jalan sambil merem-melek kesakitan. Ya meskipun kalau yang lagi sakit bukan Thalia, gue memang nggak akan repot-repot menawari, sih.

"Nggak, makasih." Jawab Thalia tegas, lalu kembali fokus mengamati jalan di hadapannya. Gue harus berjalan kayak siput supaya nggak mendahului Thalia.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang