<>
THALIA
<>
Ada sebuah fenomena psikologi bernama Pygmalion Effect. Singkatnya, seseorang akan mampu meraih pencapaian tinggi ketika orang-orang di sekitarnya percaya ia bisa mencapai hal tersebut. Apa yang orang lain harapkan dari diri kita, itu yang akan kita wujudkan secara sadar maupun tidak.
Aku yakin, prestasiku saat usia sekolah dasar adalah hasil dari pikiran positif yang diproyeksikan orang lain terhadapku. Sampai akhirnya, saat SMP, aku mulai membangun standar tersendiri untuk diriku. Aku tidak lagi membutuhkan orang lain menaruh harapan padaku, karena aku sudah memilikinya, yang seringkali standarku bahkan lebih tinggi.
I can confidently say that it has worked well. Buktinya, aku memiliki arah hidup dan target untuk masa depan yang tertata sekarang. Aku tidak perlu orang lain memaksaku bekerja keras. Aku sudah melakukannya untuk memenuhi rencana yang telah tersusun rapi itu.
"Thalia, kamu harus sadar efek kamu ke adik-adik kelas itu sangat besar. Setiap ibu ada jam bimbingan konseling ke kelas sepuluh, pasti ada seenggaknya satu anak yang nanyain tentang kamu. Misal, 'Bu, Kak Thalia itu belajarnya gimana, sih?', 'Gimana ya caranya jadi sepersepuluhnya Kak Thalia aja, Bu?', 'Bu, Kak Thalia suruh ngisi jam konseling, dong.'"
Aku memaksakan senyuman mendengar penuturan Bu Aimee, konselor utama Garda Bangsa. Orang lain boleh merasa senang jika mereka mendapat pujian seperti ini. Bagiku, anak-anak kelas sepuluh ini menambah beban. Ayolah, memenuhi ekspektasiku sendiri saja, aku sudah mati-matian. Tidak perlu ditambah ekspektasi orang lain.
"Kapan-kapan deh, Bu. Mau kuliah di mana aja, belum jelas saya."
Bu Aimee tersenyum penuh pengertian. "Kamu tahu, apapun hasil kamu tanggal lima belas Maret nanti, ibu dan sekolah sudah teramat sangat bangga sama kamu."
Ya ... ya ... terus saja berkata hal-hal bullshit yang mungkin juga konselor seperti Bu Aimee katakan ke anak-anak dengan prestasi paling mentok tingkat kota.
"Gara-gara kamu, adik kelas sekarang semakin terbuka sama chance kuliah di top university. Sekolah kita memang sudah banyak mengirim siswa ke luar, tapi seringnya Australia, Singapura, atau Jepang. Melihat gimana kamu daftar ke MIT, mereka mulai menengok sekolah-sekolah bagus di USA dan Eropa juga."
Baiklah, aku sekarang menyesal menginjakkan kaki di ruangan konseling ini sejak awal. Aku hanya ingin melapor bahwa decision letter MIT akan datang pada Phi Day, alias tanggal empat belas bulan tiga (3.14, see why it is called Phi Day?), yang kira-kira pagi hari tanggal lima belas di Indonesia. Nyatanya, Bu Aimee malah menyampaikan hal-hal semacam 'pengaruh Thalia terhadap antusiasme adik kelas dalam belajar'.
"Kayaknya bentar lagi bel masuk, deh, Bu. Saya izin ke kelas dulu, ya," kataku akhirnya sebelum terjebak makin lama di sini.
"Oh, iya, iya." Bu Aimee pun mempersilakanku keluar.
Aku menghela napas panjang setelah menutup pintu ruang konselor. Aku ingin segera kembali ke kelas, tapi aku menoleh ke kanan dan kiri dulu untuk melihat keadaan. Sebisa mungkin, aku ingin menghindari cewek-cewek kelas sepuluh. Aku sedang tidak memiliki energi untuk beramah tamah dengan mereka yang pasti akan menyapaku.
Sial, orang-orang seperti mereka sukses membuatku tidak tenang menghabiskan hari-hari terakhir berseragam putih abu-abu.
"Kak Thalia!"
Shit. Aku merutuk dalam hati. Padahal aku sudah memilih jalan memutar yang jauh dari keramaian.
"Iya?" Aku membalikkan badan sambil memasang senyuman palsu. Dua orang cewek kelas sepuluh menghampiriku dengan tergesa-gesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...