"Aku menyadari sesuatu: aku suka mematahkan ekspektasi orang tentangku."
<>
THALIA
<>
Sebagai seorang gadis, aku mengalami masa saat tubuhku menjadi sumber masalah dalam hidup. Aku mulai merasakan bagian-bagian tertentu di tubuhku membesar di akhir sekolah dasar. Pelajaran tentang reproduksi yang sebelumnya hanya kuhapalkan supaya mendapat nilai sempurna saat ujian, bisa aku saksikan sendiri buktinya terpampang nyata di cermin. Bayanganku memantul pada cermin itu. Beberapa waktu aku selalu memilih pakaian super longgar dan berjalan sambil membungkuk, sampai akhirnya Mama mengajakku mengobrol panjang lebar tentang karakteristik wanita yang tidak akan bisa disembunyikan sekeras apa pun kami mencoba.
"Pede aja ya, Sayang. Yang penting, kalau ada yang pegang kamu di tempat yang nggak kamu suka, langsung bilang ke Mama atau hajar orangnya. Kalau masih ngeliatin doang, balik liatin aja. Nggak usah takut." Adalah petuah Mama saat itu.
Awal mengenakan seragam putih biru, aku mulai menyadari lawan jenis memberiku perhatian lebih saat masa orientasi sekolah. Aku mendengar kakak kelas menyebutku dengan panggilan "yang cakep". Saat semua murid baru berkumpul di ruang kelas, aku tidak perlu repot-repot mengajak orang lain berkenalan karena banyak orang menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku lebih dulu.
Ya, aku adalah bukti berjalan bahwa beauty privilege itu nyata adanya.
Namun sepertinya, kebanyakan orang setelah melihatku sekali lirik, langsung mengarang narasi tentang aku menurut mereka di otaknya. Ketika aku tidak memenuhi bayangan mereka, mereka menganggapku aneh. Tidak, aku tidak memiliki followers puluhan ribu di instagram. Sosial media itu jarang kugunakan, sekalinya aku mengunggah suatu foto pasti tentang prestasi yang aku torehkan. Tidak, aku tidak menerima satu pun lelaki yang mengajakku jalan di SMP, aku terlalu sibuk mengikuti pembinaan olimpiade sains.
Lama-lama, kisah tentangku yang diceritakan dari mulut ke mulut mulai sesuai dengan aku yang sebenarnya. Tetapi, aku menyadari sesuatu: aku suka mematahkan ekspektasi orang tentangku. Aku suka mereka terkejut dan membelalakkan mata sambil berseru, "Lah, lo bisa juga kayak gitu, Thal?!" Maka dari itu, aku serius mempelajari modern dance saat SMA. Seorang Thalia bisa menjadi nerd di dalam kelas dan hot di atas panggung.
Sayangnya, kesibukan olimpiade membuatku menjadi anggota nyaris tidak berguna di Verzata, klub modern dance Garba. Latihan mereka selalu bentrok dengan jadwal pembinaan. Aku pun merelakan karier menariku mentok di depan cermin ruang latihan beberapa kali saja selama semester satu. Sampai suatu hari, Zahra memaksaku membentuk tim dance untuk tampil di class meeting akhir semester tiga.
"Thal, sumpah Thal, kita narinya nggak perlu ribet-ribet deh, serius. Cuma bertiga, satunya lagi Karen. Karena orangnya dikit, formasinya nggak ada yang rumit. Kita bisa belajar sendiri-sendiri, terus latihan bareng dua tiga kali sebelum nampil, pasti beres!" Zahra mengekoriku ke mana-mana di hari-hari pertama kami menjadi siswa kelas sebelas lima bulan yang lalu. Ia tidak mau pergi sampai aku mengatakan 'ya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
JugendliteraturRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...