Prolog

9.4K 980 81
                                    

Thalia kecil masih terus menangis. Isaknya semakin keras sementara mamanya mengitari ruangan dengan gelisah. Wanita akhir tiga puluhan itu akhirnya berjongkok di hadapan buah hatinya. Tangannya mengusap tetes-tetes air yang meluncur deras dari kedua ujung mata Thalia. 

"Thalia, dengerin baik-baik kata Mama." 

Thalia mengangguk, suara dalam dan raut wajah serius mamanya sejenak mengalihkan Thalia dari rasa kekecewaan yang mendalam. 

"Thalia pasti bisa menaklukan dunia dengan kemampuan dan usaha keras sendiri. Nggak perlu berlaku curang seperti teman sekolah kamu itu. Asalkan kamu berlatih keras, suatu saat juara yang terbaik akan kamu genggam. Nggak ada yang perlu kamu tangisi. Pemenang sejati wajar banget dicurangi. Sekarang kita siapkan amunisi bareng-bareng, biar pas ada lomba lagi, kecurangan pun nggak akan bisa mengambil juaranya dari kamu. Oke?"

Thalia menatap kedua manik Mama yang membara. Meskipun di dalam hatinya masih ada keraguan, tetapi Thalia mengucapkan persetujuan. Berbicara tentang perjuangan, usia Thalia yang masih sepuluh tahun tidak menghalanginya untuk menilai Mama sebagai seorang wanita luar biasa. Mama selalu tahu apa yang harus dilakukan. Mama tidak takut dengan apa pun. Mama adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah. 

"Ya udah, buruan siapin pakaiannya. Jadi ikut Chrysan ke rumah neneknya di Bogor, kan?" Mama tersenyum sembari menepuk pipi Thalia beberapa kali.

<>

"Alvin ..." Suara Bunda terdengar mengalun lembut. Alvin kecil yang sudah setengah terlelap kembali tersadar, tetapi ia urung membuka mata. Ia bisa mendengar bunyi decitan ketika tubuh Bunda menduduki pinggiran kasur. "Anak ganteng udah tidur? Masa, sih?" 

Alvin mengulum senyum. Ia tidak mampu menahan tawa, apalagi ketika Bunda menggelitik perutnya. Ruangan yang awalnya sunyi menjadi ramai oleh celotehan ibu dan anak itu. 

"Tadi kenapa jam empat udah pulang ke rumah? Biasanya anak Bunda kalau udah main sama Chrysan susah banget disuruh balik." 

Pertanyaan Bunda membuat Alvin merengut. "Chrysan bawa temen, Bunda. Aku nggak suka harus kenalan sama orang." 

"Loh... tuh kan, Alvin pasti deh, kayak gitu." Bunda berdecak. "Berapa coba umur kamu sekarang?"

Alvin membuka kedua tangannya lebar-lebar. 

"Udah sepuluh tahun, ya harus mau berteman sama siapa aja, dong." 

Alvin masih menekuk wajahnya. "Aku maunya sama Chrysan aja." 

"Cie... kalau sama Chrysan terus nanti jodoh, lho!" Bunda terkekeh. Alvin berharap lampu tidur di kamarnya tidak cukup terang supaya semburat kemerahan yang mulai muncul di pipinya tidak terlihat jelas. Sialnya, Bunda menyadari hal itu. "Alvin, suka sama cewek nggak apa-apa, kok. Normal. Tapi, pacar-pacaran beda lagi. Harus langsung serius, ya. Nggak boleh gonta-ganti cewek. Supaya nanti kamu punya keluarga sendiri yang lebih ..." Perkataan Bunda menggantung. Alvin bisa menangkap semakin lama suara Bunda semakin lirih. 

Cup. Bunda mengecup pipi Alvin. "Tidur, gih. Besok bangun pagi." 

Alvin tidak pernah mendengar kelanjutan perkataan Bunda saat itu. Namun, kejadian beberapa hari setelahnya menyadarkan Alvin bahwa wanita yang paling ia cintai di dunia menyimpan luka yang mendalam. 

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang