29 | Kejutan (2)

1.5K 281 36
                                    

dedicated to my first loyal reader,  arczturus

"Fuck this damned family."

-0-

ALVIN

-0-

Selama Thalia di Bandung, hidup gue berubah suram. Gue jadi nggak punya kegiatan lain selain sekolah dan basket. Ya, basically hidup gue dari dulu kayak begini sih, cuma setelah punya cewek, banyak hal-hal sederhana yang kami lakukan berdua bikin hari gue jauh lebih berwarna.

Gila, cinta memang bikin semua orang jadi pujangga.

Berhubung sore ini nggak ada latihan basket, gue sampai di rumah pukul empat tepat. Papa muncul dari dalam kamarnya dengan ekspresi terkejut.

"Nggak usah kaget gitu, Pa. Semenjak Thalia ke Bandung, aku kan, emang selalu pulang jam segini kalau lagi nggak ada latihan."

Papa terkekeh sambil melangkah menuju sofa ruang tengah. Tangan kanannya mengisyaratkanku untuk mendekat.

"Papa mau ngomong sesuatu sama kamu, Nak," ujarnya tenang.

Tapi gue nggak bisa tenang. Semua orang tua di dunia punya kebiasaan menjadi diam-diam menghanyutkan seperti ini sebelum memberi kabar yang ternyata bisa membuat dunia anak-anaknya terbalik. Gue nggak mau tertipu. Sambil berusaha memenuhi pikiran gue dengan hal-hal positif, gue mendudukkan diri dengan anteng di hadapan Papa.

"Yang akan datang ke sini, ternyata bukan orang kepolisian."

Ah, tentang Om Deri ternyata.

"Perwakilan dari keluarga Ayah kamu dengan penyelidik privat mereka akan ke sini sebentar lagi," lanjut Papa.

Keluarga Ayah? Gue menelan ludah. Ayah kandung gue, Januar Danubrata, berasal dari keluarga besar yang seharusnya menjadi bagian dari crazy rich Asian, hanya saja mereka nggak terlalu menyukai publikasi. Buktinya, mereka nggak memiliki satu nama marga yang biasanya orang-orang dengan keluarga powerful gunakan dengan bangga untuk menunjukkan kekuasaan mereka.

Selain nggak menyukai publikasi, keluarga Ayah gue tampaknya juga nggak menyukai gue dan Bunda. Gue tahu pasti nggak ada satu pun dari mereka yang muncul waktu Bunda dimakamkan, pun pada hari-hari setelahnya saat orang-orang masih sering ke rumah untuk melayat. Jangankan berkenalan dan main bareng sepupu gue. Mengenali wajah mereka pun gue nggak bisa. Pemakaman Ayah saat gue masih berusia lima tahun jadi kali pertama sekaligus terakhir gue berkumpul di tengah-tengah keluarga besar Ayah yang tanpa nama itu. Dan karena dua belas tahun sudah berlalu, memori gue tentang mereka nyaris nggak bersisa.

"Mereka nggak akan macem-macem, Papa bisa jamin. Kita cuma perlu membantu penyelidikan mereka semampu kita."

Kepala gue mendadak pusing. Apa pula hubungan adik Bunda dengan keluarga besar ayah gue?

"Apa ... Om Deri bikin masalah sama keluarga Ayah?" Hanya kesimpulan ini yang berhasil terangkai di otak gue sebagai salah satu jawaban yang memungkinkan. Papa nggak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis, lalu meninggalkan gue dengan alasan menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya.

Jadi, benar begitu rupanya. Gue menghela napas berat.

Beberapa menit kemudian, derap langkah Papa muncul kembali. Tergesa, lelaki itu menyuruh gue mengikutinya ke ruang tamu. Papa membuka pintu depan. Ternyata, tamu yang kami tunggu sudah tiba.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang