"Aku sudah jatuh, tertimpa tangga, dan mungkin sebentar lagi akan tersambar petir."
<>
THALIA
<>
Berpura-pura tegar dan memasang wajah baik-baik saja ternyata melelahkan. Jangan dicoba, aku sudah membuktikannya. Aku sering terbangun pukul dua pagi akibat mimpi buruk dengan scene aku berdiri di rooftop sebagai adegan klimaksnya. Di setiap mimpiku, aku selalu mengenakan baju yang sama dengan baju yang memang aku pakai saat kejadian itu, sweater rajut berwarna hijau tua dan celana jins biru dongker. Bedanya, saat aku telah berada di ujung gedung dan menatap ke lapangan parkir nun jauh di bawa sana, sosok yang memanggil namaku dari pintu rooftop bukan Chrysan. Sosok itu adalah Mama.
Tapi bukan Mama.
Di mimpi-mimpiku, Mama lebih mirip monster. Rambutnya berantakan, ia mengenakan gaun warna hijau pupus polos selutut khas pasien rumah sakit yang sudah compang-camping. Ia meneriakkan kata-kata yang sepertinya bukan Bahasa Indonesia, atau bahasa apapun yang digunakan manusia normal di bumi ini. Kembaran Mama ini terlihat sangat kacau dan tak terkendali. Keberadaannya membuatku semakin ingin loncat, bukannya melangkah mundur menjauh dari ujung rooftop.
Aku terbangun saat aku melayang, dalam perjalanan mencium permukaan lapangan parkir yang beraspal. Aku terengah-engah dan sekujur tubuhku berkeringat dingin. Aku sudah menyiapkan satu botol air mineral di nakas tempat tidur. Langsung kuteguk botol itu dengan ganas hingga isinya tandas dalam sekejap. Kurapalkan doa-doa apapun yang aku tahu, kemudian menarik selimut dan berusaha kembali tidur. Kadang berhasil, kadang tidak. Saat tidak berhasil, mukaku di pagi hari akan nampak seperti zombie.
Psikologku memberi pengertian bahwa mimpiku kemungkinan besar didasari perasaan tidak percaya dan dikhianati oleh Mama. Mama yang selama ini terlihat tangguh dan tahan banting, ternyata rapuh dan bisa patah sepatah ini. Aku mengalami denial akan keadaan Mama, sehingga aku mengasosiasikan Mama yang kehilangan akal sebagai monster, bukan Mamaku yang sebenarnya. Kemudian, Ibu Irma, psikologku itu, meyakinkanku untuk tidak pernah absen mengikuti konseling supaya perasaan denial-ku bisa teratasi.
Aku mengiyakan saja. Toh, selama ini aku merasa cocok dengan Ibu Irma. Aku juga tidak mengelak saat ini aku sedang dalam fase denial. Susah, sangat susah, membayangkan seseorang yang selama ini menuntut kesempurnaan di hidupku, mulai dari kesempurnaan nilai, attitude, bahkan penampilan, bisa menjadi sehancur ini sekarang. Berubah menjadi sesosok manusia yang... sulit disebut manusia.
Astaga! Aku menepuk keningku sendiri tanpa sadar. Ingin memarahi pikiran nakalku yang nyaris menganggap Mama bukan manusia.
"Lo nggak ngerjain soal dari tadi. Lo ngelamun."
Reihan membuatku tersentak. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dengan bingung, persis seperti orang yang baru kembali ke dunia nyata setelah mengarungi pikirannya sendiri. Pandanganku terhenti ke setumpuk lembaran kertas yang tergeletak di mejaku, belum tersentuh sama sekali. Aku mendengus kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...