"Melihat Alvin bisa bebas bersenda gurau dengan teman-teman basketnya dan bahkan tidak menoleh kepadaku sama sekali meskipun kami sempat berpapasan di koridor tadi, membuatku mulai merasa dunia kami memang berbeda. Dan mungkin, tidak sepantasnya menyatu."
<>
THALIA
<>
Aku tidak pernah takut mengendarai wahana ekstrim seperti roller coaster walaupun jalurnya berputar-putar dan mencapai ketinggian yang tidak manusiawi. Bagiku, ada hal yang lebih ekstrim dari pada pengalaman menumpang wahana penguji adrenalin seperti itu. Salah satunya ... perubahan sikap Alvin. Sumpah, Alvin seperti baru saja terkena pukulan keras di kepala yang menyebabkannya kehilangan ingatan, lalu dia berusaha mengumpulkan ingatannya kembali, tapi informasi tentang hidupnya yang ia terima sangat berbeda dari yang awalnya ia percaya.
Aku lelah berpura-pura pada diriku sendiri. Aku telah memantapkan hati, menerima kenyataan bahwa aku masih menyukai Alvin. Saatnya aku mulai menjaga jarak dengan Reihan. Aku tidak ingin membuatnya tenggelam dalam kesalahpahaman. Reihan tetaplah seorang teman yang baik, tapi hatiku sudah terisi oleh Alvin dan akan susah untuk menggantikannya.
Or, so I thought.
Kupikir, aku dan Alvin telah menyadari perasaan kami saling berbalas sehingga kami tinggal melakukan pendekatan dengan ujung yang sudah jelas, alias jadian. Namun, kalau benar begitu ... seharusnya, Alvin lebih perhatian, kan? Kenapa dia tidak menghubungiku sama sekali setelah kencan kami di Ancol? Aku melewatkan hari pertama semester empat dengan menggenggam ponsel ke mana pun aku pergi, menunggu pesan singkat dari Alvin. Aku berkali-kali melirik ke jendela kelas, siapa tahu saja terlihat kepala Alvin melongok ke dalam mencariku. Aku membayangkan Alvin akan terang-terangan membalas perhatianku yang dulu di depan semua orang, dengan menghampiriku di kelas dan mengajak ke kantin bersama, misal?
Sayangnya, seorang lelaki yang menghampiri mejaku di kelas saat istirahat makan siang baru saja dimulai bukan Alvin. Aku hampir saja menghardiknya dengan gertakan sebelum suara melengking Zahra mendahului.
"Kak Jefri!" pekiknya gembira.
Aku menoleh ke Zahra dengan ekspresi terkejut. Aku benar-benar lupa terhadap fakta bahwa Zahra sekarang dekat dengan Kak Jefri.
"Hei," Jefri yang berbadan tinggi kali lebar itu terlihat seperti raksasa di sebelah kami berdua yang sedang terduduk di kursi. Aku dan Zahra sama-sama harus menengadahkan kepala untuk melihat wajahnya.
"Jadi makan bareng?" Zahra bertanya dengan nada kelewat manja.
"Iya, dong. Aku nggak akan ingkar janji." Seulas senyum muncul di wajah Kak Jefri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...