"Aku tidak bisa menyanggah tuduhan Zahra. Aku memang menginginkannya menuruti permintaan Mira."
<>
THALIA
<>
Aku memiliki banyak cara untuk menanggulangi ancaman Mira. Yang pertama muncul di pikiranku adalah aku harus segera menghubungi Naura. Gadis itu selalu berperan menjadi pawang Mira sejak dulu. Mira tidak bisa berkutik jika Naura telah memutuskan sesuatu. Hanya saja, rasa tertarikku mulai tumbuh atas tugas yang diberikan Mira. Aku masih tidak habis pikir bagaimana Zahra bisa berpacaran dengan Kak Jefri dalam waktu kurang lebih dua minggu. Cepat mengajak jadian ... cepat pula lelaki seperti itu bosan dan berpindah hati, bukan?
Sepertinya, Zahra memutuskan hubungannya dengan Kak Jefri lebih dulu akan jadi sesuatu yang manis—mungkin dapat memberikan pelajaran untuk lelaki itu supaya tidak mempermainkan hati para gadis seenaknya. Aku mendesas kecil, kesal dengan diriku sendiri kenapa bisa-bisanya setuju dengan rencana Mira kali ini.
"Haaalooo? Earth to Thalia?"
Wajah gadis yang sebenarnya sedang mengisi setiap sudut pikiranku itu mendekat ke wajahku hingga jarak kami tinggal sejengkal.
"Ih! Nggak usah deket-deket deh, lo!" aku mendorong pundak Zahra pelan. Zahra terkekeh. Ia kembali menekuni laptopnya.
"Lo ngelamunin apa, sih? Cerita, kek. Siapa tahu seru. Kalau seru, gue mau ikutan ngelamun juga, deh, dari pada ngerjain tugas yang deadline-nya masih sebulan lagi." Zahra melirikku dengan pandangan jahil. Dia tidak bosan-bosannya menggodaku sejak tadi akibat keinginanku untuk menyelesaikan tugas Sejarah kami yang sebenarnya masih dikumpulkan bulan depan, hari ini juga. Alasanku tentu saja Pelatnas tahap dua yang akan diadakan sebentar lagi sehingga aku harus mampu fokus belajar materi olimpiade tanpa terganggu tugas sekolah.
"Masih baik lho, gue ngerjain jauh-jauh hari gini sama lo. Mau lo ngerjain sendiri, gue nggak berkontribusi apa-apa?" aku menaikkan kedua alis sambil bersedekap.
Zahra tertawa kecil. "Lo tahu kan, omongan lo itu kontradiktif? Kalau mau tugasnya selesai ya dikerjain, jangan malah ngelamun, mbaknya," Zahra mencolek daguku.
Yah, benar juga, sih.
Zahra sedang berada di dalam kamarku—kamar tamu Chrysan, lebih tepatnya. Ia ngotot ingin mengerjalan tugas di rumah Chrysan yang memang belum pernah ia kunjungi sebab keduanya tidak terlalu dekat kalau tidak ada aku yang menjadi mutual friend mereka.
"Bosen, nggak sih? Kita cerita-cerita aja, yuk." Aku menutup laptop, menyerah dengan usahaku fokus kepada cerita hidup dari tiga pahlawan nasional yang harus kami rangkum, ketika yang aku inginkan justru menguak cerita hubungan romansa yang sedang gadis di sampingku jalani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...