18 | Kejutan

1.7K 335 33
                                    

"Zahra yang dulu selalu mendukungku dan bahkan mengidolakanku benar-benar sudah berubah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Zahra yang dulu selalu mendukungku dan bahkan mengidolakanku benar-benar sudah berubah."

<>

THALIA

<>

Selama ini, aku memang tidak memiliki banyak teman. Namun, justru karena itu, sedikit teman dekat terpercayaku akan aku pertahankan dengan sungguh-sungguh. Itulah yang membuat semester tiga kemarin terasa tidak nyaman, karena aku dan Alvin menjadi berinteraksi dengan kikuk. Sekesal-kesalnya aku terhadap ketidakpekaannya, Alvin tetap masuk ke dalam lingkaran pertemanan terdekatku.

Sekarang, hubunganku dengan Zahra yang sedang berada di ujung tanduk. Keesokan hari setelah cekcok kami saat bekerja kelompok itu, Zahra meminta Robin untuk bertukar tempat duduk dengannya. Berhubung jumlah perempuan di kelas ini genap, jadilah Zahra dan aku sekarang sebangku dengan lawan jenis. Zahra dengan Jansen dan aku dengan Robin, pasangan sebangku berlawanan jenis pertama di 11-1. Cewek dan cowok 11-1 sejatinya memang tidak terlalu berbaur.

Beberapa tugas kelompok diumumkan dan kebanyakan guru membebaskan kami untuk memilih anggota kelompok sendiri. Jika kami tidak sedang berseteru, sudah pasti aku akan bersama Zahra nyaris untuk semua kelompok. Sekarang, melirikku saat kelas sedang heboh menyusun kelompok saja tidak dia lakukan. Tiga hari setelah kejadian di kamarku itu, Zahra mengirim file presentasi di line. Yak, dia telah menyelesaikan tugas Sejarah kami sendirian.

"Bin, lo nggak apa-apa sekelompok sama gue lagi?" aku berbisik. Robin menoleh ke arahku sebentar, kemudian dia mengangkat bahu dan memiringkan wajah. Aku mengangguk-anggukkan kepala. Robin ini memiliki IQ yang sangat tinggi, jelas sangat berguna dalam menyelesaikan soal olimpiade komputer yang membutuhkan penalaran tingkat tinggi itu. Sayangnya, kemampuan bersosialisasi Robin tidak secemerlang kemampuan berlogikanya. Aku sudah menghabiskan cukup banyak waktu bersama cowok itu untuk memahami gestur-gestur uniknya saat diajak berbicara.

Tampaknya, pelajaran olah raga adalah satu-satunya pelajaran di mana Zahra tidak bisa kabur dari sekelompok denganku sebab Pak Remi senang memasangkan siswa sesukanya sendiri. Kami melakukan pemanasan sesuai pengarahan Pak Remi dengan berpasang-pasangan. Aku bisa melihat wajah Zahra berubah masam begitu kami harus meraih tangan satu sama lain untuk peregangan dengan meluruskan kaki di tanah.

"Ra, gue minta maaf." Bisikku sambil menahan betis Zahra ketika dia sedang melakukan sit-up di hadapanku. Zahra tidak menjawab, dia selalu melirik ke arah lain selain kedua mataku.

"Ra, gue nggak sekuat yang lo pikir." Gantian aku yang melakukan sit-up dibantu oleh Zahra. "Gue sebenernya takut juga sama ancaman Mira. Gue ..." astaga, ternyata melakukan sit-up sambil mengoceh membuat cepat terengah. "Gue salah nyuruh lo putus gitu aja. Lo ... berhak ... ngelakuin apa pun yang lo mau, termasuk ... pacaran ... sama Kak Jefri."

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang