48 | The Future of Us

2.9K 295 97
                                    

*

This is it.

Gue menunggu Thalia memasuki mobil sambil berusaha mengatur detak jantung. Setelah hampir sebulan nggak kontakan sama sekali, kami akan pergi bersama. Gue bertekad kesempatan berharga ini nggak akan gue sia-siakan. Semua perasaan dan pemikiran gue sebulan belakangan harus gue sampaikan ke Thalia.

"Hei." Cewek itu memasuki mobil, duduk di kursi penumpang samping gue. Malam ini, Thalia memakai atasan kain berwarna krem dengan celana kulot cokelat. Rambutnya dibiarkan tergerai dan pundaknya mencangklong tas hitam kecil.

"Hei," balas gue, menunjukkan senyuman lebar. Thalia membalas senyum gue sekilas, sebelum kembali menekuri jendela. Gue mengumpat dalam hati. Ternyata, nggak semudah itu untuk mengusir atmosfer canggung di antara kami.

Selama perjalanan, nggak ada di antara kami yang berbicara. Gue memutuskan, suara radio mungkin bisa mengisi keheningan ini. Sejujurnya, gue ingin berbasa-basi, tapi otak gue memuat narasi panjang semua yang ingin gue sampaikan ke dia, sampai nggak tersisa tempat untuk obrolan santai di sana.

"Ini tempatnya?" tanya Thalia begitu gue memarkir mobil.

"Enggak, harus nyebrang dulu. Kata Jefri kemungkinan tempat parkir di sana penuh. Jalan dikit nggak apa-apa, kan?"

Thalia mengangguk. Kami berjalan beriringan, lagi-lagi tanpa suara.

Bener aja, tempat parkir Kafe Kina memang penuh. Dari luar, terlihat manusia-manusia yang memadati ruangan dalam kafe, beda jauh dengan keadaan sepi saat gue berkunjung minggu lalu.

"Jefri ... beneran udah nikah, Vin?" Tiba-tiba, Thalia menghentikan langkahnya dan bertanya seperti itu.

Gue berdecak. "Ya, gitu, lah. Nggak nyangka, ya?"

Senyum Thalia yang lebih tulus muncul. "Kalau aku bilang sebenernya aku nggak kaget, jahat nggak ya, Vin? I mean, knowing how his past relationship ..." Thalia tidak melanjutkan kata-katanya. Dia kembali melangkah dan gue mengikuti di belakang.

Jefri sibuk sepanjang malam, sehingga dia cuma sempat menegur kami sekilas. Seorang wanita yang gue tebak adalah istri Jefri, mengekori lelaki itu ke mana pun dia pergi. Setelah acara utama yang berisi penampilan suatu grup musik yang nggak gue kenal selesai, Jefri kembali menghampiri kami, kali ini sendirian. Awalnya, dia berbasa-basi, menanyakan tentang menu kafe ini. Gue menahan tawa saat Thalia mengutarakan opini jujurnya. Wajah syok Jefri ketika Thalia mengkritisi salah satu menunya benar-benar priceless.

"Ya, ya ... oke, bakalan gue catet," responsnya pelan. Kemudian, "Thal, mungkin ini terkesan tiba-tiba banget, tapi gue beneran nggak ngerti lagi harus mulai ngomongin topik ini pakai basa-basi apa. Tujuan utama gue ngundang lo ke sini itu ..."

Thalia menatap Jefri dengan ekspresi datar. Bisa gue lihat Jefri mulai grogi.

"Gue mau minta maaf. I was a jerk, dan gue nggak akan nyari-nyari alasan di balik tindakan gue yang kurang ajar itu. I was simply a jerk, and now I know better—"

"Do you?" Thalia memotong dengan tajam, membuat Jefri dan bahkan gue tertegun. "Do you really know better?"

Jefri menghela napas. "Bukan berarti gue sekarang udah jadi malaikat, tapi gue nggak akan berhenti belajar, gue juga janji bakal dengerin nasihat orang untuk gue. Gue juga ... bakalan jadi ayah. Mau anak gue laki atau perempuan, bakal gue didik supaya jadi orang baik, nggak kayak gue."

Gue bisa mendengar ketulusan dalam suara Jefri, sepertinya Thalia pun begitu. Raut wajah gadis itu melunak, kemudian sebentuk senyum mulai tercetak di sana. "Gue kenal beberapa orang yang punya hati luas banget untuk memaafkan ..." Thalia melirik gue, membuat sebagian hati gue meleleh. "Mungkin gue belum bisa selapang mereka, but I'd like to give you a chance."

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang