21 | Rotten

1.5K 302 41
                                    

"Gue pernah merasa ada di dasar, hopeless. Yang akhirnya bikin gue bangkit adalah karena gue ngasih harapan ke gue sendiri, kalau masa depan pasti lebih baik dari hari ini."

<>

THALIA

<>

Aku benar-benar sudah mirip pemimpin perusahaan yang sedang menunggu laporan penjualanan bulanan dari para manajer. Bedanya, para 'manajer'-nya tidak lain adalah teman-teman olimpiadeku sendiri, dan mereka bertugas memaparkan perkembangan akademik anak-anak basket yang berada dalam kelompok belajar mereka.

Kami semua sedang tegang sekarang. Minggu depan adalah ujian tengah semester yang hasilnya menjadi penentuan siapa saja pemain yang akan dikirim Garba mengikuti Jakarta Cup di bulan April.

"Sebenernya tuh, Leo nggak males belajar, Thal. Cuma gue ngerasa dia ... hm, gimana ya, ngomognya ..."

Aku mengamati gadis yang sedang duduk di hadapanku, dibatasi oleh sebuah meja. Frieska, anak olimpiade Ekonomi, kesulitan memilih kata untuk mendeskripsikan salah satu siswa binaannya. Aku memutuskan untuk membantu. "Lemot buat ngertiin pelajaran?"

Frieska meringis. "Ya, gitu. Tapi tenang, gue udah friend banget sama Bu Lastri, pembina olim Eko sekaligus guru kelasnya Leo. Bu Lastri udah ngejamin bakalan ada remedial khusus anak basket, sebelum bagi rapor bayangan."

Aku mengangguk mengerti. Aku melengkapi catatanku sebentar, kemudian berterima kasih dan mempersilakan Frieska untuk meninggalkan tempat duduknya. Frieska bangkit, lalu segera melangkah ke pintu keluar ruang olimpiade. Aku memang menggunakan salah satu pojok ruang olimpiade sebagai 'kantor'.

Frieska berada di urutan kedua dari terakhir. Aku menghela napas lega, artinya sebentar lagi aku bisa segera pulang ke rumah. Sayangnya, tutor terakhir yang harus melapor membuat debar jantungku tiba-tiba meningkat. Aku memperhatikan gerak-gerik Zahra. Gadis itu menarik kursi dan memposisikan dirinya dengan kikuk. Tangannya dilipat dan parasnya menyiratkan kekeruhan.

"Hei. Apa kabar Kimianya anak-anak?" ucapku setelah berdeham beberapa kali. Astaga. Kami sebenarnya sudah lebih cair dari ini sejak beberapa waktu yang lalu. Hanya saja, aura gelap yang menguar dari Zahra hari ini membuatku tidak lepas berinteraksi dengannya. Aku takut salah bicara dan menyebabkan hubungan kami terjun bebas lagi.

"Hm, nggak terlalu baik. Gue bingung, kayaknya mereka pada low motivation banget sama Kimia. Mereka lebih milih untuk fokus di Fisika sama Biologi katanya. Mana guru-guru Kimia tuh, standarnya tinggi banget dan paling anti ngasih remedial sebelum sampai akhir semester."

Ah, Zahra rupanya membawa kabar buruk. Apakah suasana hatinya terpengaruh karena itu?

"Jadi, mereka pada mau ngorbanin Kimia jadi mapel yang dibawah tujuh puluh lima, ya?"

"Kayaknya gitu."

Aku mendengus. Di saat seperti ini, aku ingin sekali punya kekuatan super mengendalikan pikiran orang lain. Aku hanya akan menggunakannya saat ujian saja, kok. Supaya aku dapat mengarahkan anak-anak basket itu menjawab ujian dengan tingkat ketepatan paling tidak 80%.

"Padahal matematika peminatan juga pada megap-megap mereka." Aku menggigit bibir.

Zahra hanya mengangkat bahu sekilas.

"Ya udah deh, Ra. Makasih, ya. Ini info dari lo gue keep dulu. Ntar gue diskusi lagi sama Alvin, biar dia review lagi anak-anaknya yang di jurusan IPA sepenting apa buat formasi Jakarta Cup bulan depan. Lo boleh balik." Aku memaksakan sebuah senyuman lebar untuk gadis itu.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang