45 | Boys, Let's Talk About Sex ❣

1.5K 239 43
                                    

-0-

ALVIN

-0-


Gue terbangun akibat suara nyaring alarm dari ponsel. Sengaja, karena gue nggak mau bangun di atas jam lima pagi. Gue meraih ponsel di nakas untuk menghentikan bunyi-bunyian itu. Masih jam 04.45.

Ketika kesadaran gue telah kembali sepenuhnya, gue merapalkan sumpah serapah. Celana gue basah, dan mungkin sprei gue juga terkena cairan ini. Seharusnya ini kejadian yang biasa aja, tapi dengan siapa gue melakukan aktivitas seksual di mimpi gue membuatnya luar biasa bermasalah.

Gue bahkan nggak lagi berbicara dengan Thalia layaknya teman. Udah dua minggu kami saling berdiam diri. But here I am, dreaming something erotic about her.

Yang membuat gue makin membenci diri sendiri adalah kenyataan bahwa nggak semuanya hanya berupa mimpi. Kebanyakan adalah pengalaman nyata yang otak gue mainkan berulang kali.

---

Gue berdiri di pojok di ruang klub basket, mengamati jalannya rapat yang dipimpin angkatan bawah gue dari jauh. Cukup membosankan, kalau gue bilang. Angkatan ini punya watak yang lebih serius, beda banget sama angkatan gue sendiri. Duh, gue tersenyum mengingat temen-temen seangkatan. Dulu, gue menyesali kenapa gue harus memimpin orang-orang kayak mereka. Sekarang, gue malah kangen.

Melankolis banget, ya?

Sesuatu mengenai lengan gue. Gue menoleh, mengernyitkan dahi melihat Manda memandang gue lamat-lamat.

"Ngapai lo senyum-senyum?" tanyanya berbisik.

"Enggak, kangen aja sama anak-anak," jawab gue jujur.

"Kalau sama yang itu, tuh, kangen nggak?" Wajah Manda berubah jenaka.

"Itu apaan?" Gue tahu maksud dia, pura-pura enggak tahu aja.

"Mama, lah! Siapa lagi? Udah punya pengganti ya lo, jangan-jangan?" tuduh Manda dengan nada suara yang berhasil ia pelankan.

Gue mendengus. "Kagak. Gue lagi menikmati kesendirian."

"Serius menikmati? Kalau menikmati kenapa lo miserable banget belakangan ini? Nggak cuma lo, sih. Mama juga. Satu sekolah tahu kalian udah nggak bareng, dan kami semua nebak kalian putusnya nggak baik-baik."

"Serius, Man, gue lagi nggak mau ngomongin masalah personal di tengah-tengah rapat!" gerutu gue sambil menggertakkan gigi. Tiba-tiba, tangan Manda mencengkeram lengan gue, lalu menyeret gue keluar ruangan dengan kekuatan yang nggak main-main.

"Anjir, kok malah kabur?" Gue membelalak kesal.

Manda malah terkekeh. "Makanya, lo ngaku dulu ke gue! Selama ini lo sok baik-baik aja, padahal kenapa-napa, kan?"

Gue tahu pasti niat Manda baik. Tetapi, sumpah, deh, masalah gue terlalu rumit dan melibatkan terlalu banyak aib gue dan Thalia berdua. Gue nggak akan bisa menjelaskan detail masalahnya, namun paling nggak gue bisa menjawab pertanyaan Manda yang ini. "Iya, gue stres. Tertekan. Bingung. Nggak ngerti mesti ngapain. Puas, lo?"

Muka Manda melembut. Wajah cengengesannya berganti jadi serius. "Separah itu, ya?"

"Iya."

"Nggak mungkin balik lagi?"

Gue menyeringai, pasrah. "Gue nggak tahu apa gue sendiri mau balik lagi kayak dulu. Mungkin, bayangan gue kalau we are made for each other ya cuma khayalan gue aja."

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang