<>
THALIA
<>
The things I did for MIT ...
Aku menarik napas panjang. Meja di hadapanku sudah kosong, buku pelajaran sebagian telah kumasukkan ke tas ransel dan sebagian lain kuletakkan di laci bawah meja. Jam pelajaran terakhir tersisa sepuluh menit lagi, tapi pikiranku tidak mengarah ke materi integral di papan. Tidak masalah, karena aku telah memahami isi Calculus 1, yang biasanya dipelajari mahasiswa tahun pertama. Otakku sedang sibuk menyusun jadwalku sore ini yang sangat padat.
Bel berbunyi! Tanpa membuang waktu, aku segera melesat keluar kelas. Aku sempat berhenti sebentar di loker siswa untuk meletakkan tas ranselku dan mengambil map yang berisikan dokumen yang kubutuhkan untuk sore ini. Setelahnya, kembali aku memacu langkah cepat.
Perhentian pertama, ruang guru.
Aku telah membuat janji dengan Pak Darmo, pembina olimpiade Biologi Garda Bangsa. Pak Darmo tidak memiliki jam mengajar siang tadi, sehingga dapat langsung kutemui di ruangannya.
"Oh, Thalia! Duduk sini," sapa Pak Darmo ramah sambil mengarahkanku ke ruang duduk di sebelah ruang guru. "Jadi gimana?" tanyanya begitu kami duduk berhadapan.
Aku terkekeh geli. Pak Darmo ini memang easy going sekali. Bercakap-cakap dengannya selalu membuat suasana hati menjadi baik. "Saya yang harusnya tanya gimana, Pak. Mau nengokin surat rekomenadasi yang udah saya pesen dari kapan hari."
"Waduh, udah mau ditagih sekarang?!"
Wajah terkejut Pak Darmo membuatku terbelalak. Jangan bilang beliau belum menyelesaikannya!
"Ya nggak apa-apa, sih. Udah jadi juga. Saya ambilin dulu ya," lanjut Pak Darmo sambil berlalu ke mejanya.
Aku mendengus kesal. Kebiasaan Pak Darmo yang senang bercanda sepertinya tidak bagus untuk jantungku jika topiknya menyangkut aplikasi ke MIT.
Pak Darmo kembali dengan selembar kertas di tangannya. Beliau menyerahkan lembaran itu sambil tersenyum lebar. "Saya sepenuh hati lho, bikinnya."
Aku menerima lembaran itu dengan antusias. "Saya baca bentar ya, Pak?"
Tiga menit berikutnya ruang duduk hening, sebab Pak Darmo memberiku waktu untuk membaca surat rekomendasi buatannya yang akan kumasukkan ke dalam aplikasi MIT. Aku membaca dengan cepat, tapi isi dari surat itu tidak bisa tidak membuat hatiku terenyuh.
"Pak, ini gratis kan, jasa bikin surat rekomendasinya?" tanyaku setengah bergurau, setengah terharu. Surat yang kubaca sangat menyentuh, bahkan kini aku mati-matian menahan dorongan air di ujung mata.
"Nggak ada yang gratis di dunia ini." Ucapan Pak Darmo yang ia sampaikan dengan raut serius membuatku terhenyak. Ah, tapi detik selanjutnya aku berdecak, karena pasti Pak Darmo—lagi-lagi—bercanda.
"Bayarannya, kamu harus jalanin semua proses daftar-daftar ini dengan hati gembira, ya? Bapak takut, kemarin tetangga Bapak ada yang kena angin duduk setelah galau berhari-hari pasangan favoritnya nggak jadi bareng-bareng di Drakor. Makanya hidup itu dibawa santai aja. Santai tapi serius."
Aku melongo. Pak Darmo benar-benar memiliki cara absurd untuk menunjukkan kepedulian kepada muridnya. But that's kinda sweet in its own way.
"Iya, Bapaaak!" Aku meyakinkan beliau sambil terkekeh. "Ya udah, saya pamit dulu ya, Pak. Kapan-kapan saya mampir kirimin Bapak makanan, deh. Sekali lagi makasih banyak, Pak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...