Alvin tidak pernah tidak menikmati berpelukan dengan papanya. Lelaki itu tidak sekekar sepuluh yang tahun lalu, jelas. Warna keperakan sudah menghiasi rambutnya yang makin menipis. Walau begitu, lelaki ini masih memiliki kharisma dan kehangatan yang tak pernah lekang dimakan usia.
"Pulang ke sini bawa calon istri, ya, Nak," canda Agam, Papa Alvin itu, setelah pelukan mereka terlepas. Yang digoda hanya terkekeh, sebelum akhirnya bergumam, "Doain aja, Pa."
Alvin gantian menatap wanita yang berdiri di sebelah papanya. Wanita itu selalu menunjukkan senyuman lebar. Sesuatu yang dulu sempat ia ragukan ketulusannya, namun kini ia tahu pasti, Kanesya benar-benar mencintainya sebagai buah hati Januar sekaligus pribadinya sendiri.
Kanesya merengkuh Alvin erat-erat. Alvin membalas dekapan itu sambil mengelus punggung Kanesya. "Jangan sedih gitu, dong, Tan," bisik Alvin begitu isak tertahan Kanesya terdengar.
Kanesya menggeleng. "Ini nangis bahagia, kamu, tuh! Tante terharu, usaha keras kamu bisa bawa kamu sampai ke titik ini. You deserve this and more. Bentar lagi, kamu ketemu jodoh, kan? Keponakan Tante udah mau berkeluarga aja ..."
Alvin tertawa terbahak, sampai kedua bahunya berguncang. "Ngomong apa, sih, Tan? Khayalannya itu loh, jauh banget."
"Omongan itu doa, Alvin." Kanesya berdecak. Sejurus kemudian, ekspresinya berubah serius. Diletakkannya tangan di pipi Alvin. "Tante tahu, jadi entrepreneur sukses di usia muda bukan mimpi kamu yang utama. Ke Amerika ... kamu juga mau ngejar dia, kan?"
Mata Alvin membulat. Ternyata, dia tidak bisa menyembunyikan apapun dari wanita ini. Alvin menumpukkan tangannya di atas tangan Kanesya. "Kalau gitu, doain beneran ya, Tan."
*
Cuaca Boston di musim panas benar-benar nyaman. Dari jendela apartemennya, Alvin bisa melihat langit cerah yang bersih dari awan. Embusan angin sejuk menerpa tubuhnya, masuk melalui celah jendela yang ia buka. Sambil memandangi lalu lalang manusia di pagi hari ini, Alvin merogoh kantung celana. Tangannya meraih sebuah gantungan kunci yang telah dia miliki selama sembilan tahun terakhir. Dia menatap bandul gantungan kunci itu yang berupa dua simbol infinity yang saling bertautan di tengah. Double infinity.
Sembilan tahun yang lalu, seminggu setelah Derianto, adik ibunya, dijatuhi hukuman penjara, sebuah paket tiba untuknya. Paket itu dikirim oleh Derianto sendiri, menggunakan jasa pengiriman paket yang memiliki gudang penyimpanan, sehingga setiap paket bisa dikirim pada tanggal tertentu di masa depan. Paket itu berisi gantungan kunci ini beserta sebuah surat singkat mengenai apa arti double infinity bagi Derianto.
Derianto menjelaskan, seumur hidupnya besar di panti asuhan, ia dan Liliana tidak memiliki siapapun kecuali satu sama lain. Double infinity melambangkan komitmen antar dua manusia, menjadi simbol yang mengingatkannya pada kewajiban untuk menjaga Liliana sampai kapanpun, begitu pula sebaliknya. Derianto mengakhiri surat itu dengan berkata, apapun yang ia lakukan selama ini selalu berdasarkan atas rasa cinta dan kasihnya terhadap si kakak.
Melihat itu untuk pertama kali, hati Alvin hancur. Bagaimana bisa sebuah rasa cinta malah berubah menjadi alasan untuk menyakiti orang lain? Dia tidak bisa memahami jalan pikiran Derianto. Tetapi, ia memutuskan untuk menyimpan gantungan kunci itu sebagai bentuk perlawanan dari prinsip tersebut. Alvin akan membuktikan, hatinya bisa berkomitmen untuk mencintai seseorang, tanpa perlu menyakiti siapapun dalam prosesnya.
Kembali Alvin memasukkan gantungan kunci itu ke kantung celana.
*
"Thalia, ya ampun, udah Ibu bilang nggak usah dibantu!" Seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul dan setelan batik mewah berderap tergesa-gesa ke arah Thalia, gadis yang sedang menakar beberapa cairan dengan raut wajah sangat serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...