23 | Bantuan Tak Terduga

1.5K 298 50
                                    

"Demi Tuhan, terlalu banyak laki-laki di luar sana yang masih meremehkan perasaan terluka seorang perempuan ketika hak tubuhnya dilanggar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Demi Tuhan, terlalu banyak laki-laki di luar sana yang masih meremehkan perasaan terluka seorang perempuan ketika hak tubuhnya dilanggar."

-0-

ALVIN

-0-


Semenjak kepemimpinan Hermawan, anak basket yang memenuhi standar mendapat makan siang gratis yang terjamin kandungan gizinya. Gue jadi nggak harus pusing-pusing menghitung kalori seperti yang sudah Thalia ajarkan, seenggaknya untuk makan siang. Gue yakin temen-temen gue mensyukuri fasilitas ini, apalagi kami nggak perlu terjebak antrean panjang bersama siswa lain. Cuma, kebanyakan dari kami masih terlalu gengsi untuk mengakui, termasuk gue.

Anehnya, hari ini gue terbayang-bayang siomay enak punya Bang Geger di kantin Garda Bangsa. Gue memutuskan untuk langsung cabut ke kantin begitu bel istirahat berbunyi karena siomay itu termasuk yang paling digemari. Lambung gue masih cukup elastis untuk menampung sepiring siomay plus sepiring makanan empat sehat lima sempurna.

Rencana gue membeli siomay batal tiba-tiba ketika gue mengamati ada keributan di salah satu meja kantin yang paling strategis. Gue tahu pasti meja itu miliki geng Jefri. Seharusnya mereka sudah nggak ke sekolah, entah ada urusan apa hari ini. Gue memicingkan mata.

"Lah, Thalia ngapain?" Aldo menyuarakan pertanyaan gue juga.

Gue melangkah mendekati meja Jefri. Aldo mengejar gue sambil memprotes, lebih baik kami segera menuntaskan urusan perut dulu katanya. Gue mengabaikan ocehan Aldo. Saat ini, fokus gue terpaku ke dua orang yang jelas-jelas nggak sedang mengobrol santai. Thalia berdiri cuma beberapa jengkal di hadapan Jefri. Apa yang mereka bicarakan nggak terdengar, tapi dari bahasa tubuh Thalia, gue tahu dia menahan amarah.

Jefri itu mantan center tim basket putra Garda Bangsa. Memiliki tinggi badan 182 cm dan tubuh agak gempal. Sumpah, gue takut Thalia diapa-apain. Bener aja, gue bisa merasakan aura Jefri berubah setelah Thalia mengatakan sesuatu.

Mata gue melotot, begitu juga banyak pasang mata di kantin siang ini. Jefri nggak memukul Thalia seperti ketakutan gue. Bajingan itu nyosor! Gue bisa merasakan darah gue mendidih sampai ke ubun-ubun.

Gue melompati jarak yang memisahkan kami dan menghadiahkan segenggam tinju penuh amarah ke muka Jefri.

"Berengsek!" umpat gue spontan. Gue sukses melepaskan Thalia dari Jefri. Sialnya, meskipun gue udah mengerahkan tinju paling kuat yang gue bisa, Jefri nggak terjatuh. Pijakannya ke tanah masih kokoh.

Kejadian setelah itu berlangsung cepet banget. Jefri meraih kerah seragam gue dan menghempaskan badan gue ke lantai. Gue meringis merasakan tulang punggung gue menghempas permukaan keras. Selama beberapa menit berikutnya, Jefri mengamuk bagai banteng yang bertemu warna merah. Pukulan demi pukulan menghantam wajah gue. Gue ingin melawan, tapi cowok raksasa ini menduduki badan gue dan mengunci pergerakan gue. Sialan. Perih menjalari bagian tubuh gue yang menjadi sasarannya. Lidah gue mengecap rasa besi, entah darah dari mana yang mengucur. Bisa jadi bibir, bisa jadi gusi, bisa jadi hidung.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang