"Gue masih ingin belajar banyak dari bidadari yang dititipkan surga ke bumi ini. Bisa nggak, mereka nggak memanggil bidadarinya terlalu cepat?"
-0-
ALVIN
-0-
Gue benci rumah sakit. Perasaan ini timbul akibat kenyataan bahwa hampir setiap kali gue menginjakkan kaki di bangunan dengan suasana muram itu, kabar buruk bakal menghampiri setelahnya. Terutama, kabar yang berhubungan dengan Bunda.
Gue baru aja beres melaksanakan seleksi untuk mengisi tim inti DKI Jakarta di Kejuaran Basket Nasional Februari besok. Satu pesan singkat dari Papa yang menyatakan Bunda harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami komplikasi sukses membuat gue membelah jalanan Jakarta dengan ugal-ugalan. Gue sampai di depan ruang konsultasi dokter onkologi yang menangani Bunda setelah berlari secepat yang gue bisa dari parkiran. Di dalam ruangan itu, ada Papa yang sedang mendengarkan kabar perkembangan keadaan Bunda.
Nggak berselang lama, pintu itu terbuka. Menampakkan laki-laki paruh baya yang keluar dengan wajah pias. Air muka lelaki itu sedikit lebih cerah saat ia menyadari keberadaan gue.
"Pa," suara gue hampir nggak bisa didengar telinga orang normal, tapi pria di hadapan gue ini cukup memahami apa yang gue ingin sampaikan lewat tatapan mata.
"Kita duduk di kursi sana dulu, yuk." Papa menepuk pundak gue dan membiarkan tangannya tetap di sana, merengkuh gue dan mengarahkan langkah kami menuju kursi panjang di ruang tunggu rumah sakit.
"Udah nggak lama lagi, Alvin."
Gue nggak sanggup berkata apa-apa. Papa memang seorang yang realistis dan nggak akan berpegang pada harapan palsu, tapi gue berharap Papa akan bermanis-manis dulu sebelum menyatakan fakta yang berusaha gue tolak kebenarannya.
"Seberapa ... lama?" dua kata itu berhasil meluncur dari mulut gue. Gue berusaha melawan perasaan nyeri yang mulai menggeranyangi setiap inchi tubuh, seakan-akan organ gue diremukkan dari dalam oleh kekuatan tak kasat mata. Kekuatan itu punya nama. Namanya adalah keputusasaan.
Papa mengalihkan pandangannya ke depan. Gue yakin Papa nggak sungguhan memperhatikan lalu lalang koridor rumah sakit, ia pasti memikirkan sesuatu yang hanya hadir di memorinya sendiri.
"Nggak ada yang tahu. Dokter bilang ... kanker Bunda kamu unik. Baru pertama kali ini mereka melihat tipe kanker yang begitu ganasnya merusak organ penting tubuh, tapi selalu mempertahankan fungsi minimum organ tersebut sehingga Bunda masih bisa bernapas sampai sekarang. Tetapi ... bukannya itu lebih kejam? Seakan-akan Maya punya dosa begitu besar sampai mendapat ujian seperti ini selama hidupnya. Maya tersiksa secara perlahan, Vin, dia..."
Papa menundukkan kepala. Tangan kirinya memijat kening, lalu bahunya mulai bergetar hebat. Nggak ada yang lebih kuat menyangkut Bunda di antara gue dan Papa. Gue pun nggak punya harapan dan kata-kata penghiburan untuk dibagi. Akhirnya, kami menjadi dua lelaki yang saling membagi perih lewat tangis yang tertahan di ruang tunggu rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
JugendliteraturRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...