"Mama memang selalu mengajarkanku untuk berdiri di kaki sendiri, namun sekarang ketika sekedar bangkit pun susah untuknya, apakah aku akan meraih tangannya dan membimbingnya kembali tegak lagi, atau berpaling saja meninggalkannya?"
<>
THALIA
<>
"Makasih semuanya udah menyempatkan datang. Kalau ada yang mau dibahas lagi langsung ngomong di grup aja, ya. Semangat kita semua!" Aku berdiri dari dudukku, kemudian menyebarkan pandangan kepada wajah-wajah yang sedang menatapku penuh perhatian. Aku menunjukkan senyum, berusaha menularkan perasaan positif dan semangat kepada orang-orang yang telah kupilih menjadi pengurus Garda Bangsa Olympiad Team periode ini. Mereka membalas dengan senyum yang tidak kalah lebar."Semangat, semangaaat!" Zahra, yang kini mengemban tugas sebagai sekretaris klub, ikut menghebohkan suasana dengan teriakannya yang sangat nyaring.
Kemudian, satu per satu dari mereka meninggalkan kafe tempat kami membahas program kerja untuk satu tahun ke depan selama tiga jam terakhir. Kebanyakan menepuk pundakku atau menyalamiku terlebih dahulu sebelum melangkah keluar.
Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan senang yang membuncah. Aku tahu teman-teman olimpiadeku bukan orang-orang yang tidak punya kemampuan berorganisasi. Mereka hanya memiliki prioritas yang berbeda. Dengan aku menjadi penggerak mereka, sebenarnya klub olimpiade ini bisa menjadi lebih dari sekadar tempelan keanggotaan ekstrakulikuler di rapor supaya tidak benar-benar kosong. Rapat kami tadi menjadi bukti nyata. Semua mampu mengeluarkan pemikiran dan ide mengenai nasib klub kami ini ke depannya. This period will be so much different than the previous ones and I am so excited.
"Seneng banget ya, Thalia?"
"Iya, nggak berhenti senyam-senyum, tuh."
Aku menoleh ke arah sumber suara. Zahra dan Reihan menjadi dua orang terakhir yang belum beranjak dari kafe.
"Bagus, dong, kalau gue seneng." Kilahku kesal.
Zahra tertawa. "Ya emang bagus, tapi lucu aja. Beberapa minggu yang lalu ada yang marah-marah di grup gitu, ternyata pas udah mulai kerja happy juga dia."
Reihan menyambut ucapan Zahra juga dengan tawa. "Tuh, Thal, gue bilang juga apa. Selama ini lo emang makhluk perfectionist yang terkadang ngeselin, tapi semua orang juga tahu kalau lo dikasih tanggung jawab nggak bakal main-main ngejalaninnya."
"Ya ... ya ..." aku hanya berdecak malas. Lagi-lagi mereka berdua tertawa melihat reaksiku.
"Thal, udah, yuk. Cabut ke Marvel Bakery. Gue nggak sabar makan cheesecake-nyaaa!" Zahra mengingatkanku akan rencana kami.
Aku melirik jam dinding, sadar bahwa hari telah semakin sore. "Oh, iya. Ya udah deh, gue sama Zahra mau pergi toko roti yang tadi gue ceritain nih, Rei. Lo mau balik juga, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Andaikan Saja Kita
Teen FictionRANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama cowok yang naksir sama sahabat kamu sendiri? Terus, setelah kamu putus asa, dia malah datang dan ga...