36 | The Storm is Coming

1.3K 266 57
                                    

<>

THALIA

<>


Aku bergerak di dalam selimut dengan resah. Masih pukul sembilan malam, tapi aku memutuskan untuk mencoba tidur demi menjaga kewarasanku. Sayangnya, sejauh ini aku belum berhasil sama sekali. Aku kembali membuka ponsel, mengintip feed Instagram tanpa benar-benar memperhatikannya. Oh, ada sebuah foto yang akhirnya mampu membuat percikan kegembiraan muncul di hatiku. Aku mengetuk foto itu dua kali, foto Mira tertawa lepas sambil menggendong seekor kucing berwarna putih yang sangat gendut.

Gumushh sama yang pegang kucingnyaaa

Aku terkekeh setelah meninggalkan sebuah komentar di foto itu. Mira sungguhan mengembalikan suasana hatiku menjadi lebih baik. Aku senang melihat seorang Elmira Feriska sukses meninggalkan kehidupan lamanya, menutup akun Instagram-nya yang memiliki pengikut lebih dari seratus ribu, terbang ke Swiss dan mengikuti kelas seni untuk persiapan mendaftar ke salah satu universitas di sana tahun depan. Aku termasuk satu dari sedikit orang yang beruntung mendapat kontaknya yang baru. Mira berubah dari seseorang dengan Instagram story menumpuk sampai berbentuk titik-titik kecil menjadi seseorang yang sangat menjaga privasi. Aku tidak menyalahkannya, dunia memang sejahat itu.

Namanya Dodo! Dodo said goodluck for ur uni application, Kak Thalia!

Ah, rupanya Mira sedang online. Aku mendengus, kenapa pula Mira harus mengingatkanku tentang alasanku sedang bergalau ria sekarang.

Aku malu mengakui ini. Aku malu mengakui aku ketakutan setengah mati menyaksikan seorang Samara Dinda memiliki kesempatan luar biasa besar untuk diterima oleh MIT. Hari ini, dari Reihan aku mengetahui bahwa sama sepertiku, Ara mendapat skor sempurna untuk SAT. Skor TOEFL-nya tidak menakjubkan, tapi masih dalam rentang minimum untuk mendaftar. God, dengan apa yang telah dia lakukan selama masa remaja, kemampuan Bahasa Inggris yang biasa saja bukanlah masalah.

Aku meloncat dari kasur begitu mendengar suara pintu dibuka. Mama kembali! Aku melangkah dengan cepat, ingin menemuinya untuk menumpahkan semua keluh kesahku.

"Eh ... Ma?" Aku tercenung melihat Mama membaringkan diri di sofa ruang tamu dengan wajah teramat kusut. Tidak pernah aku melihat Mama sehancur ini semenjak—

Aku menggelengkan kepala, mengusir kenangan buruk yang tiba-tiba muncul sekilas ke permukaan. "Ma, capek banget, ya? Aku pijetin, ya?" tawarku lembut sembari duduk di karpet bawah, lalu meraih lengannya. Mama belum menjawab, tapi juga tidak menolak kuberi pijatan seperti ini.

"Nak ... Om Adrian tewas," gumam Mama, masih dengan matanya terpejam. Aku menghentikan gerakan tanganku. Aku tahu pasti siapa Om Adrian. Partner kerja Mama yang selama ini kami kira membawa semua uang investor dan klien perusahaan yang sedang Mama dan dirinya rintis berdua.

"B-bunuh ... diri?" tanyaku takut-takut. Entah kenapa, itulah alasan kematian pria itu yang paling masuk akal bagiku saat ini. Siapa tahu Om Adrian tertekan akibat pengejaran polisi dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

"Kematiannya ... janggal." Mama mendudukkan diri sekarang. Matanya membuka dan dapat kulihat warna merah di sana. Mama pasti lelah sekali, fisik sekaligus mental. "Ada mayat tidak beridentitas yang ditemukan di daerah Puncak. Setelah diperiksa, diketahui itu Adrian Romero. Mayatnya tidak mudah dikenali selain karena sudah membusuk ... tubuh Adrian menerima banyak kekerasan. Lebih aneh lagi ... kekerasan ini dilakukan setelah Adrian meninggal."

Aku menelan ludah. Luka pasca kematian? Orang yang melakukannya pasti memiliki kebencian yang sangat, sampai-sampai belum puas menghilangkan nyawa, ia juga menyiksa seonggok mayat.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang