🍁🍁🍁
Ailah berjalan terburu-buru ke rumahnya. Air matanya sudah keluar. Pikirannya kalut.
"I-ini ada apa, Bu?" tanya Ailah pada Ibu-ibu yang berada di depan rumahnya.
"Yang sabar ya, Icha," ucap Ibu-ibu itu sambil mengelus pundak Ailah.
Air mata Ailah semakin deras mengalir di wajahnya. Ia berlari memasuki rumah yang bahkan sudah ramai, "Bu--bunda," lirihnya.
"Ayah." Ailah berjalan mendekati kedua orang tuanya yang sudah terbaring kaku di sana.
Ia menggeleng kuat. Menatap Syifa dan Abid untuk meminta penjelasan, "Cha, Ayah sama Bunda udah gak ada."
Duaaarr
Dada Ailah bagaikan di hantam ribuan batu. Sesak, itulah yang ia rasakan saat ini. Ia tidak percaya dengan ucapan Syifa, ini tidak mungkin, bahkan sebelum ia pergi liburan kedua orang tuanya masih baik-baik saja.
Ailah perlahan duduk di samping tubuh kedua orang tuanya, " Bunda bangun, Icha udah pulang, Bun." Ailah mencoba membangunkan Dewi dengan menggoyangkan pelan tubuhnya.
"Yah, bangun dong. Ini aku, anak Ayah," ucap Ailah diiringi dengan isak tangis.
Selanjutnya Ailah menatap sendu Abid, "Bang, ini bohong, kan?"
Abid menggeleng pelan. Kepalanya ia tundukkan, "tadi malam Ayah sama Bunda kecelakaan, Cha. M-mereka meninggal di tempat."
Ailah menggeleng kuat, "Gak! Bang Abid bohong, kan? Gak lucu!" teriaknya sambil menatap tajam Abid, "Kemarin Ayah sama Bunda baik-baik aja, ini pasti mimpi! Siapapun tolong bangunin aku, ini mimpi buruk." Abyan ikut duduk di samping Ailah diikuti dengan teman-temannya yang sudah ikut menangis.
"Sabar, Cha" ucap Abyan sambil mengelus pundak Ailah, mencoba menenangkan.
Ailah menepis kasar tangan Abyan, "Ini semua gara-gara lo! Kalo aja lo gak maksa gue buat ikut liburan, pasti ini gak akan terjadi! Pasti gue masih sama mereka." Abyan menunduk. Sedikit banyaknya perkataan Ailah memang benar.
Ailah beralih menatap sendu Syifa, "Kak, bantuin Icha bangunin mereka."
Syifa langsung memeluk Ailah. Ia tidak tega melihat Ailah seperti ini, "Cha, Ayah sama Bunda udah gak ada. Ikhlasin mereka."
"Gak, Kak. Ayah sama Bunda cuma tidur." Ailah melepaskan pelukan itu. Lalu kembali memeluk tubuh Dewi dan Abraham bergantian, "Bunda bangun, jngan tinggalin Icha. Ayah," Panggilnya pelan, "Kalian kenapa tega ninggalin Icha sendirian? Bangun, Icha janji bakalan nurut sama kalian. Tapi tolong bangun dulu."
Ia menganggukkan kepalanya berkali-kali, "Ayah sama Bunda mau Icha nikah sama kak Nanda, kan? Icha bakal turutin asal kalian bangun. Jangan giniin Icha."
"Icha, kamu makannya jangan telat ya di sana. kamu tu harus belajar mandiri kalo suatu saat nanti Ayah sama Bunda udah gak bisa jagain kamu. Contohnya sekarang, masa makan aja masih harus diingetin. Bunda kan gak bisa selalu ada di dekat kamu, Sayang."
"Jaga diri baik-baik di sana ya, Cha. Nurut sama calon suami kamu."
"Duh, bakalan sepi ni rumah kalo kamu gak ada, Cha."
"Akan lebih sepi kalo Bunda sama Ayah pergi ninggalin Icha. Nanti Icha sama siapa di rumah? Nanti siapa yang bakal ngingatin Icha makan? S-siapa yang bakal ngomelin Icha kalo Icha telat makan? Bangun dong, Bun." Isak tangis terdengar semakin keras.
Jadi, kemarin ada pertemuan terakhirnya dengan kedua orang tuanya? Mengapa harus secepat ini?
"Cha, Ayah sama Bunda harus segera di antar ke tempat peristirahatan terakhir mereka," ucap Abid. Abid menatap kasihan adiknya. Ini terasa seperti mimpi buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILAH(END)✅
Fiksi RemajaSIAPKAN DIRI SEBELUM MEMBACA!! BOLEH KASIH KRISAR, TAPI YANG SOPAN! *** "Kak Nanda harus kuat. Ikhlasin tante, tante pasti udah bahagia disana" "Lo pernah kan ngerasain diposisi gue?" "Berenti sok nasehatin! Seharusnya lo ngerti keadaan gue, kare...