🌻Bagian 47🌻

135 10 0
                                    

☘️☘️☘️

"Maksud lo apa?" tanya Ailah bingung.

Dini memperbaiki posisi duduknya. Beralih menatap ke depan, seperti sedang membayangkan kejadian beberapa tahun yang lalu, "Gue sama Kak Nanda udah temenan dari kecil, Cha. Lo belum tau 'kan dimana rumah gue?" Dini bertanya tanpa mengalihkan tatapannya ke depan.

"Kita tetanggaan, Cha. Rumah Kak Nanda sama gue cuma berjarak satu rumah. Setiap hari kita selalu main bareng, Kak Nanda yang selalu jemput gue buat bawa gue main ke rumahnya. Gara-gara kedekatan kita, kedua orang tua kita juga ikutan akrab. Gue inget banget waktu itu gue lagi main di rumahnya Kak Nanda, sama Om Adam juga. Om adam bilang gini ke kita ....."

"Kalian akrab banget sih, Sayang. Om suka banget liatnya. Nanti kalo kalian udah pada dewasa Om akan jodohin kalian berdua, pasti kalian akan hidup bahagia."

"Iya, Nanda juga janji akan jagain Dini terus. Pokoknya Nanda mau satu sekolahan terus sama Dini, Pa, biar Nanda bisa jagain Dini."

Dini tersenyum kala mengingat kata-kata itu. Tapi, senyumannya tidak bertahan lama. Ia sadar semua ucapan itu tidak akan bisa menjadi kenyataan, "Saat itu gue berumur sebelas tahun, gue udah cukup mengerti apa yang dikatakan sama Om Adam. Mungkin itu cuma candaan bagi Om Adam, tapi bagi gue itu janji. Dan janji seharusnya ditepati, kan?" kali ini Dini menatap Ailah. Ailah hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. Jujur ia cukup terkejut mendengar cerita ini. Mengapa Abyan tidak pernah menceritakan semua ini padanya?

"Gue benci sama lo, Cha. Sejak Kak Nanda kenal sama lo dia berubah. Kak Nanda gak pernah lagi main ke rumah gue, bahkan sampai saat ini dia kaya gak pernah kenal sama gue. Dia jadi ngejauh, keliatan cuek, dan gak perduli lagi sama gue. Ucapan Kak Nanda yang akan selalu jagain gue itu semua bohong. Janji mereka berdua seketika hilang, dan itu semua karena lo, karena tanggung jawab Kak Nanda sama lo." Dini menangis. Dadanya terasa begitu sesak.

Ailah menatap Dini dengan perasaan bersalah. Jadi, ini yang menyebabkan Dini selalu memusuhinya? Andai ia tahu dari awal, "Maafin gue, Din. Gue gak tau kalo lo suka sama Kak Nanda. Andai gue tau cerita ini dari awal, gue gak akan mau nikah sama Kak Nanda. Tapi, sumpah gue gak tau apa alasan gue dijodohin sama dia. Sampai sekarang gue bingung, setiap kali gue tanya sama Kak Nanda, dia gak pernah mau ngejawab."

Dini tersenyum tipis. Menggenggam tangan Ailah, "Lo gak perlu minta maaf, ini salah gue karena gue terlalu baperan sama ucapan Om Adam waktu itu. Gue sadar, gue emang gak pantes buat Kak Nanda. Lo liat 'kan keadaan gue sekarang? Gue sakit-sakitan, dan mungkin bentar lagi gue udah gak ada di dunia ini."

Ailah menggeleng cepat. Ia tidak suka mendengar perkataan Dini, "Lo gak boleh ngomong gitu, Din. Umur itu udah ditentuin sama Allah. entah gue atau lo yang akan dijemput duluan, kita gak ada yang tau."

Dini semakin terisak, "Tapi penyakit gue udah parah, Cha. Gue gak akan bisa sembuh."

"Gak, lo pasti bisa sembuh, Din. Lo harus yakin, orang tua lo pasti bakalan dukung lo. Jangan buat mereka sedih dengan lo nyerah gini."

Dini menggeleng sambil tersenyum miris, "Bahkan mereka gak tau kalau gue lagi sakit."

Ailah lagi-lagi dibuat terkejut dengan perkataan Dini, "Jadi, lo belum ngasih tau mereka?" Dini hanya membalas dengan gelengan pelan.

"Kenapa? Ini bukan masalah kecil, Din. Ini tentang keselamatan lo," ucap Ailah sambil menatap Dini.

"Mereka gak ada waktu buat gue, Cha. Gue udah berusaha buat ngasih tau semua ini, tapi mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan. Gue udah pasrah, mungkin jalan hidup gue emang harus berakhir kaya gini."

Ailah menggeleng. Dirinya ikut menangis, tak kuasa mendengar cerita ini. Jadi, selama ini Dini hidup kurang kasih sayang dari orang tuanya? Ailah benar-benar tidak menyangka. Sikap Dini di sekolah bahkan sangat berbanding terbalik.

"Lo gak boleh ngomong gitu, Din. Jangan gampang nyerah sama keadaan. Setiap masalah pasti ada solusinya, dan setiap penyakit pasti ada obatnya." Selanjutnya Ailah menggenggam kedua tangan Dini, mencoba memberikan semangat agar Dini tidak mudah menyerah atas keadaan yang dia alami saat ini, "di sini ada gue, gue akan selalu bantuin lo, dan gue akan bantuin lo buat ngomong sama orang tua lo."

"Beneran?" tanya Dini.

Ailah mengangguk cepat, "Iya, jadi lo tenang aja." Ailah langsung memeluk Dini. Keduanya sama-sama menangis. Dini tersenyum diiringi dengan tangis. Baru kali ini ada orang yang perduli dengannya. Selama ini ia sering bercerita masalah keluarganya kepada Fine dan Tasya. Tapi mereka berdua tidak terlalu menanggapinya. Tidak seperti Ailah yang menyemangatinya agar ia bangkit dan tidak menyerah.

"Itu semua karma karena perbuatan lo sendiri. Gue yakin, penyakit lo gak akan pernah bisa sembuh."

Pelukan keduanya terlepas begitu saja. Serentak menoleh ke asal suara. Arkan dan Reza sedang berdiri di ambang pintu.

"Jaga bicara kamu, Al," tegur Ailah.

Arkan hanya mengangkat bahu acuh. Berjalan mendekati Dini, "Cepat tobat, gih. Sebentar lagi lo bakalan mati."

"Al! Jaga bicara kamu!" sentak Ailah. Dini semakin menangis mendengar kata-kata Arkan. Pertahanannya kembali runtuh setelah mendengar kata-kata itu. Benar, Dini tidak akan bisa sembuh dari penyakitnya.

"Kenapa, hm? Semua yang aku bilang bener, kan? Dia gak akan sembuh."

"Diam! Kamu sadar gak sih? Kata-kata kamu itu bisa menyakiti Dini! Kata-kata kamu itu bisa buat Dini sedih! Seharusnya sebagai temen kita harus suport Dini, bukan malah gini. Ini sama aja kamu mau bikin Dini drop, dan nyerah sama penyakitnya."

Arkan menggeleng sambil tersenyum miring, "Aku gak peduli, Cha. Aku gak pernah anggap dia temen."

Ailah menarik nafasnya dalam. Arkan benar-benar sudah keterlaluan. Dini kembali menangis karena mendengar ucapan Arkan, "Udah! Mending kamu keluar! Kamu udah keterlaluan, Al. Aku gak nyangka kamu bisa ngeluarin kata-kata sepedas ini."

"Aku juga gak nyangka kamu lebih belain dia. Aku gini karena khawatir sama kamu, Cha. Aku gak mau kamu celaka lagi! Dia udah buat temen kamu ngejauh, Cha! Kenapa kamu gak sadar juga?! Kita gak ada yang tau kejahatan mana lagi yang dia simpan. Masih mau kamu bela dia?!"

Ailah menggeleng kuat. Ia yakin Dini tidak seperti itu. Dini sudah berubah, "Apapun yang dilakuin Dini, aku tetap maafin dia. Dia temen aku, dan Dini udah berubah. Jadi, aku minta sama kamu berenti berpikiran jahat sama Dini."

"Ok, terserah kamu. Tapi kalau terjadi sesuatu sama kamu, dan yang ngelakuin itu Dini, jangan harap aku bakal lolosin dia." Tunjuk Arkan pada Dini. Setelah itu Arkan keluar bersama Reza yang menunggunya di ambang pintu.

Ailah memandang punggung Arkan sedih. Air matanya lagi-lagi menetes. Baru kali ini ia bertengkar dengan Arkan. Jujur ia terpaksa melakukannya. Perkataan Arkan tadi benar-benar sudah keterlaluan.

"Maafin gue, Cha. Gara-gara gue lo jadi berantem sama Arkan. Gue sadar, perkataan Arkan tadi semuanya emang bener. Gue gak akan sembuh," lirih Dini. Ia menundukkan kepalanya dalam.

Ailah menggeleng. Menatap Dini dengan rasa bersalah, "Gak, dia salah. Lo pasti bisa sembuh. Din, tolong maafin kata-kata Al tadi, ya? Gue tahu Al gak kaya gitu orangnya. Sebenarnya dia anaknya baik kok."

Dini mengangguk sambil tersenyum tipis, "Iya, gue percaya kalo Arkan itu sebenernya baik." Dini mengusap air matanya, "malam nanti lo kemana, Cha?"

"Gak kemana-mana. Emangnya kenapa?"

"Ada sesuatu yang pengen gue omongin sama keluarga lo, Cha. Bisa gak nanti malam kita ketemuan? Jangan lupa ajak semua keluarga lo, temen-temen juga."

Ailah menatap Dini bingung. Sebenarnya apa yang akan Dini bicarakan dengan keluarganya? Selanjutnya ia mengangguk, "Bisa, nanti gue kasih tau mereka."

"Makasih," ucap Dini pelan. Sejujurnya ia sedikit ragu dengan keputusannya. Tapi mengingat kondisinya yang sekarang ini ia rasa semuanya harus dijelaskan. Ia tidak perduli apa yang akan terjadi setelahnya. Yang terpenting semuanya bisa terungkap sebelum ia benar-benar pergi dari dunia ini.

'Gue harap ini jalan yang terbaik. Gue gak mau terus-terusan dihantui rasa bersalah.'

---------------------------------------------------------

AILAH(END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang