🌼Bagian 16🌼

131 9 0
                                    


🍁🍁🍁

"Stop!" ucap Ailah tiba-tiba, membuat Abyan menghentikan mobilnya secara mendadak.

Abyan menoleh, menatap tajam Ailah, "Lo mau ngajak gue mati? Hah!"

Ailah terkekeh pelan, "Ya, maaf. Refleks," ucapnya menunjukkan tanda piech pada Abyan.

Abyan tidak perduli, ia kembali menghadap ke depan dan hendak melajukan mobilnya kembali. Tapi tangannya di pegang oleh Ailah, membuat aktifitasnya terhenti.

"Mampir ke rumah dulu, ya? Aku mau ngasih tau mereka kalo kita bakalan pindah rumah," mohon Ailah menatap wajah Abyan serius.

"Gak perlu, mereka udah tau," jawab Abyan tanpa balas menatap Ailah.

Ailah nampak terkejut, "Da ...."

"Papa," potong Abyan seakan tahu apa yang akan Ailah tanyakan padanya.

Ailah menggeram kesal. Abyan selalu saja memotong ucapannya, "Em, tapi bentar aja gak apa-apa kali, Kak. Lagian ada sesutu yang pengen aku ambil juga."

Abyan menghela nafas, lalu mengangguk. Ailah yang melihat itu langsung tersenyum, "Makasih. Kamu mau ikut?"

Abyan hanya diam, tidak memberikan isyarat apapun atas pertanyaan Ailah. Dan itu dianggap sebagai penolakan bagi Ailah, "Ya udah, biar aku aja. Kak Nanda tunggu bentar, ya." ucap Ailah, lalu perlahan ia turun dari mobil dan berjalan menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh dari tempatnya sekarang.

"Assalamua'alaikum. Kak Syifa, Bang Abid," panggilnya seraya berjalan memasuki rumah.

"Kak," panggilnya lagi.

Tiba-tiba Ailah menghentikan langkahnya. Samar-samar ia mendengar suara orang yang sedang berbicara.

"Jadi kita akan tetap tinggal di sini, Mas?" tanya Syifa.

"Iya Syif, kalau bukan kita siapa lagi? Icha 'kan udah dibeliin rumah sama Ayah dan Om Adam. Jadi, kita akan menetap di sini." jawab Abid sambil tersenyum.

Ailah semakin mendekatkan dirinya. Ingin mendengar lebih jelas apa yang sedang di bicarakan oleh kedua kakaknya itu.

"Aku bingung, Syif. Kalau Ayah sama Bunda masih hidup pasti mereka bakalan kecewa banget sama Icha. Apa yang dilakukan Icha benar-benar bodoh."

Syifa mengangguk menyetujui atas ucapan Abid, "Mas, aku juga gak nyangka Icha bisa lakuin itu sama tante Arini. Dia bahkan sangat baik sama kita semua. Aku jadi takut kalau Icha itu punya ...."

"Punya apa?" Ailah keluar dari tempat persembunyiannya. Abid dan Syifa serentak menoleh.

"Maksud Kak Syifa apa?" tanya Ailah. Ia berjalan mendekat.

Syifa berdiri, menatap Ailah dingin, "Tanya sama diri kamu sendiri, Cha. Kenapa kamu bisa ngelakuin itu."

Ailah menahan tangan Syifa yang hendak berjalan melewatinya, " Kak, Jawab dulu," pinta Ailah, lagi.

Syifa mundur, kembali menatap Ailah, "Buka mata hati kamu, Cha. Kamu sadar gak apa yang udah kamu lakuin? Seharusnya kamu berpikir sebelum melakukam sesuatu."

"Tapi semuanya udah lewat, Kak. Andai Icha bisa ngulang waktu, Icha juga gak akan mungkin ngelakuin itu, dan Icha akan pikir dulu. Tapi saat itu otak Icha bener-bener gak berfungsi buat mikirin itu, yang ada di sini cuma satu. Gimana caranya supaya tante Arini selamat dan gak ngerasain sakit,"  ucap Ailah sambil menunjuk kepalanya.

"Icha juga gak mau kehilangan orang yang Icha sayang untuk kedua kalinya, Kak. Tante Arini itu seperti Bunda. Dia sayang sama Icha, begitupun sebaliknya. Jadi Icha gak mungkin lakuin itu."

"Iya ataupun tidak yang kamu lakukan tetap salah. Kamu tetap orang yang telah membuat tante Arini pergi." Syifa berlalu begitu saja setelah mengucapkan itu. Abid ikut bangkit, ingin menyusul Syifa.

"Bang, Icha kesini cuma mau pamit. Icha sekarang mau tinggal di rumah baru Icha sama kak Nanda," Abid menghentikan langkahnya. Posisi mereka sekarang saling membelakangi.

"Udah tau, Cha," jawab Abid tanpa menoleh sedikit pun.

Air mata Ailah kembali mengalir. Sekarang ia merasa sangat jauh dengan Abid. Seperti sedang berbicara dengan orang asing, "Bang Abid percaya 'kan sama Icha?"

Abid menggelengkan kepalanya, walau itu tak bisa Ailah lihat, "Gak tau, Cha. Rumit," ucap Abid, lalu melangakah begitu saja meninggalkan Ailah yang mematung di tempatnya.

Ailah mengusap air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Benar-benar menyakitkan.

Menyesal? Pasti. Tapi untuk apa? Dengan menyesal pun waktu tidak akan bisa diulang kembali untuk memperbaiki kesalahan yang lalu.

Kejadian kemarin benar-benar membuat semuanya berubah. Kepercayaan, kasih sayang, dan ... Entahlah, Ailah tidak tau apa lagi yang akan berubah setelah ini.

Ia melangkah pelan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Memutar kenop pintu kamarnya, lalu berlari menuju ranjang dan menghempaskan tubuhnya di sana.

"Icha benar-benar bodoh, Bun. Gara-gara kebodohan Icha tante Arini pergi. Icha harap Ayah sama Bunda gak kecewa sama Icha." Ailah menatap nanar foto kedua orang tuanya yang ia pegang. Lagi-lagi ia menangis.

"Icha, kangen kalian. Andai Ayah sama Bunda ada, Icha mau cerita banyak tentang kehidupan Icha setelah kalian pergi. Pahit."

Ailah sontak mendudukkan dirinya. Ia teringat sesuatu, Abyan sedang menunggunya di luar. Ia sudah terlalu lama disini.

Matanya beralih menatap sebuah boneka besar Panda yang bersender di depannya. Air matanya kembali tumpah. Boneka itu adalah pemberian Ibunya.

Ailah langsung memeluk boneka itu, yang bahkan lebih besar dari tubuhnya. Tangan kirinya memegang sebuah foto, lalu ia berjalan keluar kamar.

****

Mata Abyan sedari tadi tidak lepas dari menatap pintu rumah Ailah. Sudah satu jam ia menunggu, tapi Ailah belum juga keluar rumah.

Baru saja Abyan hendak menyusul Ailah, tapi terhenti saat matanya melihat Ailah yang baru saja keluar rumah dengan membawa sebuah boneka panda besar di pelukannya.

Abyan hampir saja tersenyum melihat Ailah membawa boneka yang bahkan berhasil menutupi tubuhnya. Tapi, Abyan cepat-cepat mengubah ekspresinya saat Ailah sudah memasuki mobil.

"Lama ya, Kak?" tanya Ailah sambil menatap Abyan tak enak hati. Ia takut Abyan marah lagi.

Abyan menoleh, balas menatap Ailah. Perlahan tangannya terulur untuk mengusap jejak air di wajah Ailah. Mata mereka saling bertemu, cukup lama.

Ailah yang merasa salah tingkah pun langsung mengalihkan tatapannya ke samping. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang.

Abyan berdehem, mencoba mencairkan suasana yang seketika canggung. Lalu tanpa aba-aba ia langsung melajukan mobilnya.

Di perjalanan mereka berdua hanya saling diam. Ailah menatap kesamping sedangkan Abyan menatap kedepan, fokus pada jalanan di depannya.

Sekali-kali Abyan menatap Ailah yang berada di sampingnya. Abyan tahu jika Ailah habis menangis. Tapi Abyan mencoba untuk tidak perduli.

-----------------------------------------------------------

AILAH(END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang