Prolog

979 38 2
                                    

🍁🍁🍁

"Apa?! Nikah?! Gak, Icha gak mau.
Ayah gila! Icha masih mau sekolah!" ucap Ailah tak terima.

Ailah sungguh di buat terkejut oleh kedua orang tuanya yang berkata akan menjodohkannya dengan anak dari teman mereka.

Pagi-pagi mood nya sudah dibuat hancur. Ia kesal. Jelas ia menolak mentah-mentah ini semua. Lagi pula ia masih ingin sekolah, dan masih ingin menikmati masa mudanya.

"Kamu tenang aja, Cha. Setelah nikah kamu masih bisa lanjutin sekolah kok," jawab Abraham_Ayah Ailah tenang.

Ailah menautkan kedua alisnya. Mana ada sekolah yang mau menerima seorang siswi yang sudah menikah. Ailah rasa tidak ada. Yang ada malah ia langsung di tendang dari sekolah.

"Gak, Yah. Mana ada sekolah yang mau nerima siswi yang udah nikah. Yang ada aku malah diledekin sama temen-temen. Ayah mau Icha berenti sekolah?"

"Ya, jangan sampai semua orang tau, Cha."

"Jadi, nikahnya diem-diem?" tanya Ailah memastikan.

"Iya dong. Mau 'kan?" Abrahan dan Dewi tersenyum menatap Ailah yang sedang menimbang-nimbang.

"Gak. Udah Icha mau berangkat. Assalamualaikum" Ailah langsung mencium kedua tangan orang tuanya. Lalu berjalan keluar rumah dengan perasaan kesal.

"Sarapan dulu, Cha!" teriak Dewi dari dalam rumah.

"Gak laper!" Saut Ailah yang berada di ambang pintu. Lalu segera menuju mobil miliknya, dan segera meninggalkan pekarangan rumah.

Abraham menghela nafas," Udah, Mas sabar. Nanti kita bujuk lagi Icha." Abraham hanya mengangguk pelan menanggapi perkataan istrinya. Selanjutnya mereka berdua kembali melanjutkan sarapan yang sempat tertunda.

****

"Lo kenapa sih, Cha? Dari tadi cemberut mulu. Ada masalah?" tanya Anggia.

"Tau, gak biasanya." Sila menanggapi.

Dari pagi wajah Ailah tampak tidak bersemangat. Mereka jadi bingung ada apa sebenarnya.

Ailah menatap kedua temannya bergantian. Sekarang mereka sedang berada di kantin, "Gue dijodohin."

"What?!!" Ailah sontak menatap tajam kedua temannya. Benar-benar ember. Lihat saja semua orang jadi menatapnya. Memalukan!

"Beneran lo dijodohin?" tanya Anggia. Kali ini suaranya sedikit pelan. Bisa di bilang berbisik.

Ailah menghela nafas berat, "Iya. Ngeselin banget, berasa gak laku aja gue pake dijodohin segala."

Anggia dan sila seketika menutup mulutnya menahan tawa. Ada yang lucu? "Ngapain ketawa?" sewot Ailah.

Anggia berdehem, memperbaiki posisi duduknya, lalu mendekatkan wajahnya dengan Ailah, "Em, menurut gue terima aja, Cha. Siapa tau cogan."

Ailah memutar mata malas."Gue bukan lo, Nggi."

"Yaudah sih kalo gak mau. Oh ya denger-denger besok ada anak baru lo, cogan," ucap Anggia beralih pada pembicaraan lain.

Gantian. Sekarang Sila yang memutar mata malas. Penyakit Anggia mulai kambuh, "Terus, urusannya sama kita apa?"

"Banyak. Kita, eh ralat, maksudnya gue bisa deketin dia. Siapa tau gue bisa pacaran sama dia, kan? Liat aja besok gue bakalan deketin tu cowok." Anggia tersenyum. Menopang wajahnya sambil membayangkan kejadian besok. Ah, pasti sangat menyenangkan.

"Lebay," ucap Sila. Selanjutnya Sila menarik tangan Ailah untuk segera ikut dengannya. Mereka berdua berlari menuju kelas, meninggalkan Anggia yang masih setia duduk di kantin.

"WOY, TUNGGUIN GUE!" Anggia tersadar, menatap kesal kedua temannya yang sudah meninggalkannya. Sepertinya ia terlalu lama berkhayal sampai tidak menyadari kedua temannya sudah pergi.

"Awas kalian! Gue bakalan buktiin omongan gue besok!" teriaknya marah. Selanjutnya Anggia kembali tersadar, menatap sekelilingnya dengan aneh.

Ia terkekeh pelan, menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Ia malu semua menatapnya karena suaranya telah menganggu makan siang penghuni kantin ini, "Sorry."

****

Ailah baru saja pulang sekolah. Ia berjalan gontai memasuki rumahnya. Tas ranselnya ia seret.

"Eh, Sayang. Udah pulang?" tanya Dewi yang berasal dari dapur.

Ailah tersenyum tipis, "Iya, aku langsung ke kamar ya, Bun." Dewi mengangguk, menatap bingung anaknya. Tidak biasanya Ailah pulang-pulang membawa wajah lemas seperti itu.

Tidak salah lagi. Pasti ini gara-gara masalah kemarin. Ailah itu adalah tipikal orang yang selalu kepikiran atas sesuatu yang mampu membutnya terkejut.

Dewi segera menghampiri suaminya. Ia mendudukkan dirinya di samping Abraham yang sedang berada di tepi kolam, "Mas, apa ini gak terlalu cepat?"

Abraham menoleh, "Ini demi kebaikan Icha. Kenapa kamu masih nanya? kan ini udah dari lama."

"Iya, aku tau. Tapi bukannya dulu udah dibatalin, ya? Icha kan juga udah sembuh. Lagian kamu gak kasihan apa sama Icha? dia sampe kepikiran terus gitu, sampe gak punya semangat," ucap Dewi prihatin saat membayangkan wajah Ailah tadi.

Dewi tidak tega jika sudah menyangkut masalah keluarganya. Apalagi tadi ia melihat Ailah yang tidak bersemangat, tidak seperti biasanya.

Abraham memutar tubuhnya sempurna. Memegang kedua bahu sang Istri, " Setelah aku pikir-pikir kita terlalu jahat karena sudah membatalkan kesepakatan ini yang memang sudah dari lama kita buat.
Lagi pula dia juga sudah terlanjur cinta sama Icha. Ayah yakin kok Bun laki-laki itu orang yang baik untuk Icha."

Dewi mengangguk ragu. Perkataan Suaminya ada benarnya juga. Kemarin mereka memang terlalu egois, dengan mudahnya membatalkan kesepakatan itu tanpa memikirkan perasaan orang lain.

"Dia tau masalah ini?" tanya Dewi lagi.

Abraham menggeleng, "Sepertinya tidak. Hanya orang tuanya saja yang tau."

"Semoga Icha mau nerima semua ini."

"Pasti. Icha pasti akan mengerti nantinya." Mereka berdua saling melempar senyum. Ada sebuah harapan di balik senyuman itu.

Tanpa meteka ketahui sedari tadi Ailah menguping pembicaraan mereka. Tapi anehnya Ailah sama sekali tidak mengerti apa yang sedang kedua orang tuanya itu bicarakan.

Cinta? Siapa yang sudah terlanjur cinta padanya? Bahkan Ailah sangat yakin ia tidak punya teman laki-laki, gebetan, apalagi pacar setelah kejadian itu.

-----------------------------------------------------------

AILAH(END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang